Rabu, 11 Agustus 2010

Lima Aktivitas Dai Dalam Menjaga Iklim Ramadhan

Sebagai dai kita bergembira sebentar lagi akan bertemu dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Bukan karena kita akan mendapat banyak jadwal ceramah, tapi karena semua aktivitas Ramadhan (ansyithah ramadhaniyah) mendorong kita untuk kembali kepada fitrah.
Kita juga tahu betul bahwa Ramadhan sebagai bulan tarbiyah bukanlah program yang berdiri sendiri. Jika lulus dari program Ramadhan dan kita telah masuk program Allah dalam bentuk tajdid al-fitrah di bulan Syawal (Idul Fitri), program pembekalan ruhul badzl wa tadh-hiyah di bulan Dzulhijah (Idul Adha) sudah menunggu. Di bulan itu kita disiapkan untuk menjadi pribadi yang total dalam berdakwah dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada.
Syakhshiyah (figur) dai yang seperti tersurat dalam ayat 207 Al-Baqarah dan ayat 111 At-Taubah lah yang diinginkan Allah swt. terbentuk di diri kita. “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Karena itu, kita sangat berharap nanti saat orang banyak bergembira lantaran meninggalkan Ramadhan, kita justru bersuka cita karena memiliki perbaikan fitrah. Sebab, hanya dengan kefitrahan yang utuhlah, kita akan sanggup menjalani kehidupan ini secara benar sesuai dengan syariat Islam yang Allah turunkan sebagai way of life (lihat Ar-Rum ayat 30). Jika fitrah kita tak utuh, maka daya serap dan aplikasi keislaman kita akan tidak sempurna.
Begitu pula saat Idul Adha tiba. Kebanyakan orang bergembira lantaran mendapat daging yang bisa disate bareng bersama tetangga, kita justru bergembira dengan ikrar kesiapan untuk berkorban secara total dalam berdakwah. Bagi kita, semangat fitrah tanpa pengorbanan bagaikan mesin tanpa bahan bakar. Mesin dakwah Islam tidak akan bergerak tanpa kesiapan memberi dan kesiapan korban di jalan Allah dari diri para penghasungnya.
Karena itu, bagi kita, mempertahankan fitrah dengan melanjutkan tradisi ibadah di bulan Ramadhan –meski dengan intensitas yang mungkin agak berkurang– menjadi kebutuhan. Dalam kerangka pengelolaan dakwah, setidaknya ada lima bentuk kegiatan yang harus kita jaga dalam iklim Ramadhan sepanjang tahun yang kita ciptakan.
Pertama, senantiasa memperhatikan aktivitas intelektual (ansyithah fikriyah). Sebab, memelihara keutuhan fitrah sama artinya dengan merealisasikan ibadah yang terdiri dari dua aktivitas –seperti yang disebut ayat 190 surat Ali Imran–, yaitu tadzakur (dzikir) dan tafakur (berpikir). “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Jadi, keutuhan fitrah bukan hanya dijaga dengan ibadah dalam bentuk dzikir (baca: ibadah ritual), tapi juga dengan tafakur mempelajari rambu-rambu alam semesta hingga sampai pada pemahaman yang mencapai hakikat. Inilah aktivitas yang menjadi kelebihan Bapak kita, Adam, sehingga ia mendapat derajat yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk lain yang lebih senior sekalipun, baik malaikat maupun jin.
Fitrah manusia, orisinalitas keislaman, dan dakwah harus dibangun melalui proses ansyithah fikriyah. Dakwah tidak boleh hanya berorientasi pada ashalah aqidah, fikrah, dan manhaj saja. Sebab, jika ketiganya berlangsung tanpa pengembangan, kita akan terjebak pada kejumudan yang membawa malal (kebosanan) dan futur (kemandegan).
Padahal, kereta dakwah yang kita ada di dalamnya bertujuan untuk membangun sebuah peradaban baru yang menghidupkan nilai-nilai Islam dalam dimensi kekinian. Kita bukan saja ingin membentuk setiap individu dalam masyarakat kita sebagai muslim yang berakidah shahihah, tapi juga lokomotif peradaban baru berdasarkan nubuwah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Karena itu, kerja-kerja pikir menjadi tuntutan yang harus dilakukan para dai jika ingin bisa mengendarai peradaban (rukub al-hadharah). Inilah hukum besi sejarah yang tidak bisa ditawar. Itulah tiket yang wajib kita miliki jika ingin menang di kancah pertarungan peradaban.
Dengan fitrah yang senantiasa terjaga keutuhannya dan visi-misi ibadah, seorang dai harus bisa memfungsikan peran kekhilafahan yang Allah swt. bebankan di atas pundaknya. Jadi, seorang dai memang bukan saja harus mampu memahami dinamika sejarah, tapi harus selangkah lebih maju dari isu-isu kemanusiaan, trend peradaban, dan perkembangan sosial-budaya-politik yang tengah terjadi.
Kedua, selalu memperhatikan pengembangan kerjasama dan penataan tatanan dakwah (tathwir amal jama’i wa tanzhimi). Sebagai dai kita harus memiliki al-fahm as-syamil wal iltizam al-kamil (pemahaman dan komitmen paripurna) untuk bisa menggerakkan dakwah dengan konsepsi syumuliyah mutakamilah. Fase-fase dakwah yang terus berkembang pesat, dari fase pembentukan kader, pembentukan keluarga-keluarga Islami, membentuk masyarakat Islami, hingga memperbaiki negeri, menuntut dipenuhinya unsur-unsur penyempurna dalam pendekatan dakwah yang sesuai dengan realitas dunia yang berkembang cepat.
Dakwah tidak bisa lagi hanya melakukan pengkaderan, tapi aktivitas yang beragam sesuai dengan fase dan skup dakwahnya. Namun, dalam fase apa pun, sumber daya penggerak dakwah (dalam bentuk waktu, jumlah kader, dan dana dakwah) selalu lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Karena itu, kita harus cerdas mengelolanya dengan membuat prioritas amal jama’i yang tepat, syukur-syukur bisa ikut menggerakan program-program yang menjadi prioritas sekunder.
Dalam aktivitas dakwah yang telah menyentuh fase memperbaiki negara dan skup dakwah dengan spektrum yang luas, tidak lagi sekadar mencetak kader, dakwah memerlukan para pengusung yang siap memikul beban, bukan menjadi beban. Dakwah harus dipikul oleh kumpulan dai-dai sehat yang saling bersinergi memberi dan berkorban, saling membantu, senasib dan sepenanggungan untuk mengobati penyakit yang mengidap di tubuh umat.
Memang betul Rasulullah saw. pernah bersabda, “An-naasu ka ibili mi’ah laa takaadu tajidur rahhilah, manusia itu bagaikan seratus unta, tapi hampir saja dari jumlah yang banyak itu kamu tidak mendapatkan unta rahilah, yang sanggup membawa beban berat.” Karena itu, kita berdoa semoga kita adalah yang satu itu. Persis seperti perkataan Umar bin Khaththab, “Jika ada seribu orang muhajid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada seratus orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada sepuluh orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada satu orang muhajid berjuang di garis depan, itulah aku!” Mari kita tingkatkan kapasitas dan kapabilitas diri kita selalu cocok untuk memikul beban dakwah di setiap fase.
Ketiga, senantiasa memberi perhatian pada pengembangan ilmu, wawasan dan perabadan (tathwir ilmi wa tsaqafi wa hadhari). Ini aspek penting untuk meningkatkan penguasaan kita terhadap wasail (sarana) dan asalib (metoda) dalam memperjuangkan peradaban yang kita idamkan.
Kita harus mampu mengantisipasi masa depan dengan memahami perkembangan trend ilmu dan teknologi, trend ekonomi, politik dan budaya. Bahkan, kita harus maju melangkah dengan menjadikannya sebagai sarana dakwah. Karena itu, belajar dan tingkatkan terus wawasan kita. Serap informasi dunia, khususnya yang terkait dengan tathwir ilmi wa tsaqafi, sehingga kita mampu mengokohkan pemahaman masyarakat melalui unsur-unsur peradaban.
Keempat, memperhatikan pengembangan sosial dan ekonomi (tathwir ijtima’i wa iqtishadi). Berdakwah tentu saja berarti kita harus berinteraksi dengan masyarakat berikut dinamika peradaban yang melingkupnya yang terus menerus berubah. Tentu saja tanpa kita menanggalkan prinsip dan kepribadian Islam yang telah menjadi jati diri kita.
Untuk itu, Rasulullah memberi empat resep pola pendekatan yang jitu: pertama, pendekatan budaya dan bahasa, khatibun naas ala qadri lughatihim, berbicara dengan manusia sesuai bahasa mereka. Kedua, pendekatan intelektual, khatibun naas ala qadri uqulihim, bicaralah dengan manusia sesuai kemampuan nalarnya. Ketiga, pendekatan sosial, anzilun nas manazilahum, tempatkanlah manusia sesuai dengan kedudukan mereka. Keempat, pendekatan ekonomi, tu’khadzu min aghniyaaihim wa turaddu ila fuqaraihim, ambillah sebagai harta orang kaya dan bagikanlah kepada orang-orang miskin di antara mereka.
Namun, Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang tidak punya, tidak bisa memberi.” Karena itu, di kalangan para dai harus ada ta’awun ijtima’i dan iqtishadi. Jangan sampai ada teman seperjuangan kita yang mengeluh masalah pemenuhan kehidupan sehari-hari.
Kelima, perhatian pada pengembangan politik (tathwir siyasi). Bentuknya berupa kemampuan mendayagunakan apa yang ada untuk tujuan dakwah. Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kepada kita bahwa sumber daya kafir sekalipun (struktur kerajaan dan masyarakat Mesir waktu itu) bisa dikendalikan sang dai untuk mensukseskan misi dakwahnya. Begitu juga Rasulullah saw. dengan Piagam Madinahnya di awal-awal hijrah. Beliau mampu membuat rekayasa politik yang positif dengan membentuk kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mempertahankan kota Madinah jika diserang musuh.
Jadi, seorang dai tidak alergi untuk membentuk aliansi strategis dengan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama ingin mempertahankan kedaulatan negara dan menyejahterakan masyarakat. Dengan stabilitas politik dan ekonomi yang tercipta, dakwah akan bisa dilakukan lebih masif dan mengcover semua penduduk negeri. Itulah rahasia kemenangan perjanjian Hudaibiyah yang baru belakangan diketahui oleh para sahabat. Setelah perjanjian itu ditandatangani, dakwah bisa disebarkan melampaui batas-batas wilayah Arab (sampai ke Persia dan Romawi), sebab para dai tidak lagi disibukan dengan kegiatan perang.
Begitulah cara dai memaknai Ramadhan dan beraktivitas menciptakan suasana Ramadhan di luar Ramadhan.

Selasa, 27 April 2010

Duri-duri Yang Merusak Ukhuwah

Mencintai sesama mukmin dan mengikat tali ukhuwah (persaudaraan) merupakan suatu perbuatan yang amat mulia dan sangat penting. Allah SWT menyatakan persaudaraan sebagai sifat kaum mukminin dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, seperti dalam firman-Nya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Al Hujuraat : 10)

Persaudaraan yang terjalin di antara kaum mukmin sesungguhnya merupakan anugrah nikmat yang sangat besar dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya :

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” ( Ali Imran : 103)

هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ . وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan- Nya dan dengan para mu’min, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka” ( Al-Anfaal : 62-63)

Seiring perjalanan waktu, tali ukhuwah yang telah terjalin terkadang bisa mengendur, bahkan putus sama sekali dikarenakan virus-virus yang berjangkit di hati, antara lain :

1. Tamak akan kenikmatan dunia

Banyak kasus dua orang sahabat yang saling mencintai dengan tulus sehingga masing-masing merasa berat untuk berpisah dari kawannya, tiba-tiba sikap mereka berubah ketika tergiur dengan gemerlap dunia dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Apa yang akan kita lakukan seandainya ada peluang rizki di mana kita dan saudara kita sama-sama membutuhkan? Sering terjadi dua orang sahabat saling bersaing, saling jegal demi mendapatkan satu pekerjaan. Di sinilah sifat itsar (mendahulukan saudara) kita diuji.

Sebaik-sebaik sifat itsar adalah yang seperti dilakukan oleh kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin sebagaimana diabadikan dalam Al Hasyr : 9 berikut ini.

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr:9)

2. Tidak santun dalam berbicara

Hal ini merupakan pintu yang paling leluasa bagi setan untuk masuk menebar bibit-bibit perselisihan dan permusuhan di antara sahabat. Banyak yang beranggapan, hubungan istimewa yang terjalin dengan sahabatnya membebaskannya dari tutur kata yang sopan.

Contoh gaya bicara kepada saudara kita yang harus dihindari adalah :

a. Berbicara dengan nada suara tinggi dan menggunakan kata-kata kasar

Di dalam Al Qur’an, Allah mengisahkan wasiat Luqman dalam mendidik anaknya :

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (Luqman : 19).

Ali bin Abu Thalib berkata : “barangsiapa lembut tutur atanya, niscaya manusia suka dengannya”.

b. Tida k mendengar saran saudaranya, enggan menatap ketika berbicara atau memberi salam, tidak menghargai keberadaannya.

Seorang ulama salaf berkata : “Ada orang yang memberitahuku tentang suatu hadits, padahal saya telah mengetahuinya sebelum ia dilahirkan, namun kesopanannya mendorongku untuk tetap mendengarnya hingga selesai.”

Kemuliaan akhlak Rasulullah membawa beliau untuk tetap mndengar dan tidak memotong kata-kata seorang musyrik bernama ‘Utbah. Ketika berhenti, Rasulullah bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah selesai, hai Abul-Walid (panggilan ‘Utbah)?”

c. Bercanda secara berlebihan

Canda ringan dalam batas kesopanan dan tidak keluar dari ruang lingkup yang benar akan menambah kelenturan dan kehangatan hubungan ukhuwah. Sebaliknya, canda yang berlebihan dan melampaui batas kesopanan akan mempercepat kehancuran ukhuwah.

d. Sering mendebat dan membantah

Sering mendebat dan membantah diikuti oleh dampak begatif lainnya seperti menganggap unggul ide, sering mengkritik ide sahabat, sok tahu, menggunakan kata-kata pedas yang bernada merendahkan pemahaman, cara berpikir, dan kekuatan penguasaannya terhadap suatu masalah. Sesungguhnya salah satu faktor paling signifikan yang dapat memicu rasa benci dan dengki antara sahabat adalah kebiasaan berselisih/berbantah-banta
han yang seringkali tanpa didasari oleh ketulusan dalam upaya mencari kebenaran. Perselisihan juga terkadang menjebak keduanya dalam pembicaraan mengenai masalah yang masih samar, tanpa dalih argumen yang jelas. Perselisihan juga mendorong salah seorang di antara kedua sahabat tersebut terus berbicara, kendati tiada hasil yang dicapai, selain memperburuk hubungan dan mengubah sikap. Sabda Rasulullah :

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang sangat keras kepala dan suka membantah” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Tirmidzi, Ahmad)

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ

“Tiada kaum yang menjadi sesat setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka suka saling berbantah-bantahan” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

“Aku adalah penghulu (kepala) rumah di taman surga – yang diperuntukkan – bagi orang-orang yang menghindari perdebatan (perselisihan) , sekalipun dalam posisi yang benar” (HR. Abu Dawud)

e. Kritikan keras yang melukai perasaan

Salah satu faktor yang dapat merusak suasana pembicaraan dan hubungan ukhuwah adalah menyerang dengan kritikan bernada keras atau kritikan yang tidak argumentatif. Seperti ungkapan : “Semua yang kamu katakan adalah salah, tidak memiliki dalil yang menguatkan.” Atau : “Kamu berseberangan dengan saya.”
Jika antum seorang yang beretika baik, seharusnya yang antum katakan adalah : “Beberapa sisi dalam pendapatmu itu perlu dipertimbangkan lagi”, “Menurut hemat saya….”, “Saya mempunyai ide lain, harap antum menyimaknya dan memberi penilaian”, dan ungkapan-ungkapan serupa lainnya.

3. Sikap Acuh/tidak care atau cuek

Ukhuwah yang tidak dihiasi dengan kehangatan perasaan dan gejolak rindu, adalah ukhuwah yang kering. Ia akan segera gugur dan luntur.

Imam Ahmad dalam bukunya az-Zuhd dan Ibnu Abi Dunya dalam bukunya al-Ikhwan, menceritakan bahwa pada suatu malam Umar bin Khaththab teringat kepada seorang sahabatnya, dan ia terus bergumam lirih : “Mengapa malam ini terasa begitu panjang.” Maka setelah menunaikan shalat Subuh, Umar segera menemui sahabatnya itu dan memeluknya dengan erat. Subhanallah…..Itulah perasaan yang membuat seseorang merindukan saudaranya, sehingga berangan-angan agar tidak berpisah darinya, baik di dunia maupun di akhirat.

Berempati atas semua musibah dan penderitaan yang dialami saudara atau sahabat serta memperhatikan keperluan-keperluannya merupakan salah satu hal yang bisa mempererat ukhuwah. Seorang ulama salaf berkata : “Jika seekor lalat hinggap di tubuh sahabatku, aku benar-benar tidak bisa tinggal diam (Abu Hayyan at-Tauhidi, al-Mukhtar minash Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 143).

Perasaan yang tulus juga akan mendorong seseorang untuk mendoakan sahabatnya ketika berpisah dan menyebut namanya dalam waktu-waktu terkabulnya do’a.

Sabda Rasulullah :

“Doa seorang muslim untuk kebaikan saudaranya yang dilakukan dari kejauhan, niscaya akan dikabulkan”. (HR. Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)

4. Mengadakan Pembicaraan Rahasia

إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آَمَنُوا

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, agar orang-orang yang beriman itu berduka cita” (Al-Mujadilah : 10)

Dalam riwayat Ibnu ‘Umar ra dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :

إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الثَّالِثِ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ

“Jika kamu bertiga, maka janganlah dua di antara kamu membuat pembicaraan rahasia , kecuali jika orang ketiga mengizinkan, karena perbuatan itu dapat membuatnya sedih”. (Ahmad)

5. Keras kepala, enggan menerima nasihat dan saran

Sikap keras kepala dan enggan mnerima nasihat, membuat seorang sahabat merasakan adanya dinding pemisah antara diri antum dan dirinya. Ia merasa sulit untuk terbuka dalam setiap pembicaraan dengan antum, bahkan -mungkin- menganggapmu sombong.

Rasulullah saw sering didatangi oleh para sahabat dan istri-istri beliau untuk memberikan ide dan saran dalam berbagai hal. Beliau mau menerima dan menuruti saran mereka dengan senang hati, sekalipun dalam bentuk pernyataan keberatan, kritik, atau sekedar pertanyaan.

6. Sering membantah, berbeda sikap dan bersikap sombong dan kasar

Untuk menambah kehangatan ukhuwah, dua orang yang bersahabat mesti memiliki beberapa kesamaan sifat, kebiasaan, dan watak. Pepatah mengatakan : “Burung-burung bergerombol dengan sesama jenisnya.”

Malik bin Dinar berkata : “Dua insan tidak akan terikat dalam jalinan ukhuwah, kecuali jika masing-masing memiliki sifat yang sama dengan sahabatnya.”

Karena itu, betapa banyak orang yang berjumpa sekilas dalam perjalanan, kemudian berubah menjadi teman yang sangat dekat. Hal tersebut biasa terjadi karena antum menemukan beberapa kesamaan perasaan, kesenangan, pemahaman, dan ide.

Di antara faktor yang dapat menambah keakraban ukhuwah sekaligus menjaganya dari kehancuran adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan beberapa kebiasaan sahabat. Sebaliknya, sering berseberangan dengan sahabat dapat mengurangi keakraban. Tetapi tentunya semua itu dilakukan dengan syarat tidak melanggar aturan syari’at agama.

Terhadap saudara atau sahabat, kita juga harus bersikap lembut dan tidak sombong. Anas bin Malik, pelayan Rasulullah saw pernah menceritakan tentang kelemah-lembutan Rasulullah. Kata beliau : “Aku menjadi pelayan Rasulullah saw selama 10 tahun, dan selama itu beliau tidak pernah mengeluh atau mengomentari pekerjaanku, seperti mengatakan, ‘Kenapa kamu lakukan ini?’, juga tidak pernah berkomentar ketika aku tidak melakukan sesuatu, seperti mengatakan ‘Kenapa kamu tidak melakukan ini?’.

7. Memberi teguran di depan orang lain

Salah satu hak ukhuwah terhadap saudara kita adalah memberi nasihat apabila ia melakukan kemungkaran, maksiat atau kesalahan, dengan tujuan agar ia kembali pada kebenaran sekaligus terhindar dari ancaman kemurkaan dan siksa Allah SWT.

Namun demikian, nasihat tidak boleh dilakukan secara terbuka di tengah keramaian umum, kecuali dengan alasan yang mendesak, karena merupakan sifat manusia, dia tidak suka jika keburukan-keburukan nya dibuka di depan umum. Lebih dari itu, menasihati atau menyebut kesalahan seseorang di muka umum merupakan penyebab cepat pudarnya rasa cinta dan mudah tertananam bibit-bibit permusuhan karena merasa dicemarkan dan dihina, juga dapat menimbulkan sifat keras kepala dan nafsu untuk membalas dendam.

Lain halnya bila seseorang dikritik atau dinasihati dalam keadaan menyendiri, ia akan lebih menerima, mampu memahami permasalahan dengan jelas, dan tertarik kepadamu karena merasa telah diberi pertolongan dan diingatkan akan kesalahan yang telah dilakukan.

Terkadang ada orang yang memberi nasihat ingin melihat hasil dari usahanya secepat kilat, sehingga berharap agar orang yang dinasihatinya berubah seketika. Jika tidak demikian, ia berasumsi bahwa nasihatnya telah gagal, atau terus berupaya menekan orang yang dinasihati, sehingga lebih mirip sebuah pemaksaan kehendak daripada menasihati. Ia juga beranggapan bahwa orang yang dinasihati itu tidak mengerti nasihat yang diberikannya, atau belum menerima nasihat itu. Pandangan seperti itu adalah tidak benar, karena sudah menjadi tabiat umum manusia, mereka enggan mengakui kesalahan secara langsung, melainkan membutuhkan rentang waktu untuk berpikir, atau mencari kesempatan untuk kembali.

8. Sering menegur, tidak toleran dan cenderung negative thinking serta enggan memaafkan

Sikap sering menegur dan menekan sahabat dapat mengakibatkan terpuruknya tali ukhuwah, karena sahabatmu beranggapan bahwa Anda tidak dapat menerima kekurangannya sekecil apapun, atau menganggapmu selalu diliputi prasangka buruk terhadapnya. Jika Anda terus menggunakan cara bergaul seperti ini, tentu Anda tidak akan mendapatkan seorang sahabat yang bebas dari kekurangan. Artinya, Anda tidak akan pernah bisa menjalin ukhuwah.

Dalam memilih teman atau sahabat, kita perlu menentukan kriteria ideal, misal : akhlaqnya bagus, karena kita memang dianjurkan untuk bergaul dengan orang-orang yang shalih. Akan tetapi perlu diingat juga bahwa tidak ada sahabat yang bebas dari kekurangan, sebagaimana Anda pun tidak lepas dari kekurangan. Maka terimalah kekurangannya sebagaimana ia menerima kekuranganmu. Fudhail bin ‘Iyadh berucap : “Siapa mencari sahabat tanpa cacat, niscaya sepanjang hidupnya tidak mendapat sahabat.”

Salah satu ciri ukhuwah yang tulus lainnya adalah suka memaafkan dan lapang dada terhadap kesalahan. Hasan bin Wahb berkata : Di antara hak-hak ukhuwah adalah memaafkan kesalahan sahabat dan terbuka atas segala kekurangannya.”Suatu kesalahan yang dilakukan oleh sahabat tidak boleh menjadi alasan untuk menjauhi atau putus darinya. Rasulullah saw bersabda :

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Penyambung persaudaraan bukanlah orang yang membalas kebaikan yang pernah diterimanya, namun penyambung persaudaraan adalah yang diputus hubungannya, lalu dia menyambungnya kembali.” (Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi)

Dalam untaian bait puisinya, Imam Syafi’i berkata :

Ketika aku memaafkan dan tidak menyimpan iri di hati # Jiwaku tenteram bebas dari tekanan rasa permusuhan

Kuucapkan salam di saat berjumpa lawan # Agar manahan bibit permusuhan

Dengan ucapan salam # Kutampakkan wajah berseri kepada orang yang kubenci

Seakan berbunga hatiku penuh kecintaan # Manusia adalah penyakit

Penawarnya dengan cara mendekati # Jika menjauhi berarti mengabaikan cinta sejati

Jika sahabatmu menyakiti atau berbuat kesalahan kepadamu, maka sikapilah dengan lapang dada dan maafkanlah jika sanggup memafkannya dengan penuh ketulusan. Namun jika tidak, tegurlah dengan baik, seperti yang dianjurkan oleh Abu Darda’ ra : “menegur saudaramu atasa kesalahannya adalah lebih baik, daripada harus berpisah. Adakah yang sanggup menunjukkan kepadamu seorang sahabat yang sempurna?”

9. Mudah percaya hasutan orang-orang yang mendadu domba dan memendam dengki

Merupakan kesalahan besar jika Anda mudah mempercayai isu yang berkembang mengenai sahabatmu, atau menuduhnya telah melakukan perbuatan yang menyakitkan, hanya berdasarkan kepada kabar burung dan isu yang diterima. Waspadalah, karena banyak orang yang dengki kepada orang-orang yang terikat dalam jalinan ukhuwah. Para pendengki tersebut mempunyai kecemburuan yang sangat tinggi. Mereka tidak suka melihat hubungan tulus yang begitu kuat mengikat hubungan orang2 yang bersahabat, mereka tidak tenang selama tali ukhuwah tersebut belum tercerai-berai.

Oleh karena itulah, orang2 yang dipertemukan oleh Allah SW dalam sebuah jalinan ukhuwah harus yakin bahwa satu sama lainnya saling mencintai karena Allah, saling mencintai dengan penuh ketulusan yang muncul dari nurani yang paling dalam. Dengan demikian, sekuat apapun para pendengki memusuhi, tetap tidak akan mampu menggoyahkan kokohnya konstruksi ukhuwah.

Firman Allah SWT :

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“dan -Allah- yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[622]. walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana”.(Al Anfal : 63)

10. Membuka Rahasia

Salah satu faktor yang dapat mempertahakankan ukhuwah adalah menjaga rahasia sahabat agar tidak tersebar. Rasulullah saw bersabda :

إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ

“Jika seseorang diberitahu oleh sahabatnya mengenai suatu hal, lalu ia pergi, maka hal tersebut telah menjadi amanat (rahasia yang harus dijaga) baginya.” (Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)

Sebagian ulama membuat ilustrasi mengenai sahabat yang membawa malapetaka jika dekat dengannya, yaitu orang yang jika dekat, ia berusaha mengetahui rahasia, mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan kita, memperhatikan kesalahan dan kekurangan, menghitung kesalahan-kesalahan kecil yang tidak disengaja, menghafal saat-saat kita tergelincir ucapan atau perbuatan spontan dalam keadaan biasa maupun sedang marah, atau di dalam pembicaraan terbuka dan lepas yang siapapun sulit terhindar dari kelalaian, kemudian ia menjadikan semua itu sebagai senjata untuk menjatuhkan sahabtanya di kala terjadi perselisihan”. Semoga kita semua terhindar menjadi sosok sahabat yang seperti ini. Naudzubillah mindzalik.

11. Mengikuti prasangka

Mempunyai prasangka bahwa sahabatmu menyembunyikan sesuatu darimu juga dapat menyakitinya. Apalagi jika Anda sudah membangun sikap-sikap tertentu berdasarkan prasangka tersebut. Selain bisa menyakitinya, hal ini juga betul-betul akan menyakiti dirimu sendiri, karena prasangka buruk dapat merusak ketulusan perasaan hatimu terhadapnya.

Oleh karena itu, ketulusan hati dan prasangka baik (husnuzhzhan) merupakan salah satu faktor yang dapat mempertahankan hubungan ukhuwah.

Dengan alasan tersebut Allah dan Rasul-Nya melarang kita berburuk sangka (su’udzdzan) dan mengikutinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” ( Al-Hujuraat : 12)

Sabda Rasulullah :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

“Hindarilah prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) adalah ucapan yang paling dusta.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad)

Prasangka buruk dapat mendorong kepada perbuatan tajassus (mencari-cari kesalahan) yang dilarang oleh agama. Juga dapat mendorong untuk menjelek-jelekkan sahabat. Betapa jauh dari cinta dan makna ukhuwah, orang yang jika marah terhadap sahabatnya, ia langsung berprasangka buruk atau mengejeknya di hadapan orang lain.

12. Mencampuri masalah pribadi

Termasuk dalam hal mencampuri urusan pribadi adalah mencari-cari kesalahan, mencuri pendengaran, serta turut campur dalam masalah yang tidak ada gunanya bagi kita.

Sabda Rasulullah :

وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Jangan mencari-cari kesalahan (tajassus), mencuri pendengaran (tahassus), saling bermusuhan dan saling menjauhi. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad)

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)

Dalam sirah sahabat Nabi dikisahkan, ada seorang sahabat Nabi yang sakit. Ketika para sahabat dan kerabat menjenguknya, mereka merasa heran ketika melihat wajah sahabat yang sakit tersebut begitu ceria. Lalu mereka bertanya mengenai sebab keceriaannya. Ia menjawab : “ Ada dua amalan yang benar-benar kuyakini pahalanya sangat besar, yaitu aku tidak pernah berbicara mengenai hal-hal yang tidak berguna, dan hatiku bersih dai segala perasaan kotor terhadap sesama kaum muslim.”

13. Egois, arogan, tidak berempati dengan penderitaan saudara dan tidak memperhatikan masalah serta kebutuhannya

Suatu pelajaran yang indah dapat kita petik dari cerita Harun bin Abdillah ra ketika ia berkata : “Pada suatu saat, Ahmad bin Hambal mengunjungiku di tengah malam. Kudengar pintu diketuk, maka aku bertanya : “Siapa di luar sana ?” Ia menjawab : “Aku, Ahmad”. Segera kubuka pintu dan menyambutnya. Aku mengucapkan salam dan ia pun demikian. Lalu aku bertanya : “Keperluan apakah yang membawamu kemari?” Ahmad menjawab : “Siang tadi, sikapmu mengusik hatiku.” Aku bertanya : “Masalah apakah yang membutmu terusik, wahai Abu Abdillah?” Ahmad menjawab : “Siang tadi aku lewat di samping halaqoh-mu, ketika engkau sedang mengajar murid-muridmu, engkau duduk di bawah bayang-bayang pohon sedangkan murid-muridmu secara langsung terkena terik matahari dengan tangan memegang pena dan catatan. Jangan kau ulangi perbuatan itu di kemudian hari. Jika engkau mengajar maka duduklah dalam kondisi yang sama dengan murid-muridmu.”

Dalam kisah di atas, setidaknya ada dua catatan yang layak direnungkan.

1. yang bercerita bukan pihak yang memberi nasihat, melainkan orang yang dinasihati dan ia tergugah dengan nasihat tersebut,

2. kelembutan dan kehalusan gaya nasihat Imam Ahmad. Ia menyampaikannya secara sembunyi di tengah malam, dengan menggunakan kata-kata “Sikapmu mengusik hatiku”, benar-benar suatu ungkapan yang lembut. Ia tidak mengatakan, misalnya “Kamu telah menyakiti manusia….”

Faktor lain yang dapat memperkokoh ukhuwah adalah berempati terhadap penderitaan saudara dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nya.

Sabda Rasulullah :

وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah mencukupi kebutuhannya Siapa yang menolong seorang mukmin dari suatu kesusahan, niscaya Allah akan menolongnya dari salah satu kesusahan pada hari kiamat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)

Dalam hal mencukupi kebutuhan saudara kita;

- Skala paling rendah adalah sebatas mencukupi kebutuhannya ketika diminta dan kita mampu, dan bantuan tersebut diberikan dengan syarat hati merasa senang dan bahagia.

- Skala pertengahan adalah mencukupi kebutuhannya tanpa ia minta.

- Skala yang tertinggi adalah mengutamakan kebutuhan saudara kita daripada kebutuhan kita sendiri.

Sahabat di saat senang selalu banyak jumlahnya # namun ketika susah hanya sedikit yang tersisa

Maka jangan terpedaya dengan kebaikan seorang sahabat # namun ketika musibah menimpa tiada yang mengiba

Semua sahabat menyatakan dirinya setia # namun tidak semua berbuat seperti ucapannya

Kecuali sahabat yang penuh derma dan taat agama # itulah sahabat yang berbuat sama dengan kata-katanya

14. Menutup diri, berlebihan, membebani dan menghitung-hitung kebaikan

Jika Anda ingin membuat hati seorang sahabat menjadi senang dan bersikap terbuka apa adanya, maka hindarilah menutup diri dan jangan membuatnya merasa terbebani, jangan menghitung-hitung kebaikannya kepadamu, jangan memberatkannya agar melayanimu, dan bersikaplah rendah hati.

Dalam hal ini, cara pandang yang paling baik adalah kamu menganggap dirimu lebih layak melayani daripada dilayani, dengan demikian kamu cenderung menganggap dirimu sebagai pelayan. Barangkali Umar bin Khaththab adalah sosok yang bisa dijadikan contoh. Beliau berbuat baik kepada siapa saja, tidak hanya sahabat dekat, melainkan juga budak-budaknya.

Menurut Aslam, salah seorang pelayan Umar, pada suatu malam terkejut mendapati Umar sedang mengurus kuda-kuda pelayannya dan kudanya sendiri, seraya melantunkan puisi :

Jangan biarkan malam ini membuat hatimu resah # Hiasilah ia dengan sehelai baju dan sorban

Jadilah sahabat baik bagi Naif dan Aslam # Layanilah mereka

15. Enggan mengungkapkan perasaan cinta, enggan membela sahabat ketiak aibnya disebut

Tentang menyatakan cinta pada saudara Rasulullah bersabda:

“Jika seorang di antara kamu mencintai saudarnya karena Allah, maka kabarkanlah kepadanya, karena hal itu dapat mengekalkan keakraban dan memantapkan cinta.”

Di antara hak ukhuwah adalah membela dan mempertahankan nama baik sahabat. Rasulullah bersabda :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzhalimi dan menyerahkannya.” (Bukhari, Ahmad)

16. Melupakannya karena sibuk mengurusi orang lain dan kurang setia

Di antara gambaran akhlaq buruk dalam berukhuwah adalah ketika kita mendapatkan seorang sahabat baru lantas meninggalkan sahabat yang telah kita kenal dalam jangka waktu lama. Salah satu penyebab kekecewaan sahabat adalah ketika ia berusaha sekuat tenaga untuk dekat denganmu dan selalu mengutamakanmu dari siapapun juga, ia justru mendapatimu tidak setia dan tidak menghargainya.

Tidak setia terhadap sahabat juga dapat memutuskan tali ukhuwah. Tanda-tanda kesetiaan terhadap sahabat di antaranya adalah :

- berdoa untuknya dari kejauhan, baik selama ia hidup atau setelah kematiannya, berbuat baik kepada orang yang dicintainya juga keluarganya.

- konsiten dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap sahabat, sekalipun kedudukan ataupun ilmu Anda lebih tinggi darinya.

17. Mengingkari janji dan kesepakatan tanpa alasan yang jelas

Sifat buruk ini akan menumbuhkan anggapan dalam diri sahabat Anda bahwa Anda tidak memperhatikannya, karena orang yang mengingkari janji atau kesepakatan berarti telah meninggalkan sesuatu yang dianggap kurang penting demi meraih sesuatu yang dianggap lebih pening. Alasan ini sudah cukup kuat untuk membuat sahabatmu sedih, menodai cinta dan merusak ukhuwah.

18. Selalu menceritakan perkara yang menyedihkan dan suka menyampaikan berita yang membuat resah

Ibnu Hazm ra bekata : “Jangan sampaikan beritayang membuat saudaramu sedih atau tidak bermanfaat baginya, karena itu adalah perbuatan orang-orang kerdil. Dan jangan menyembunyikan berita yang bisa membahayakannya jika ia tidak tahu, karena itu merupakan pekerjaan orang-orang jahat.”

Yahya bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah tiga hal berikut ini sebagai sikapmu terhadap orang-orang mukmin; jika tidak bisa memberi manfaat, maka jangan membahayakannya; jika tidak bisa membahagiakannya, maka jangan membuatnya sedih; Jika tidak memujinya, maka jangan mencacinya.”

19. Terlalu cinta

Maksudnya adalah menghindari hal-hal yang berlebihan, seprti ketergantungan atau rasa suka terhadap sahabat, membebani diri dengan beban yang terlalu berat dalam upaya melayani atau mendekatinya.

Rasulullah saw bersabda :

“Cintailah kekasihmu sesederhana mungkin, siapa tahu ia menjadi musuhmu pada suatu saat nanti. Dan bencilah musuhmu sesederhana mungkin, siapa tahu ia menjadi sahabat dekatmu pada suatu saat nanti.” (Bukhari, Tirmidzi)

Abul-Aswad berkata :

Cintailah kekasihmu dengan cinta yang sederhana # Karena kamu tidak tahu kapan ia menjauhimu

Jika harus benci, maka bencilah # Tapi jangan menjauhi

Karena kamu tidak tahu # Kapan harus kembali

Mencintai sahabat secara berlebihan malah akan melemahkan persahabatan. Lebih baik cinta yang terus merangkak namun menanjak daripada cinta yang melonjak namun lekas surut. Namun demikian, jadikanlah cintamu kepada sahabat lebih besar dari cintanya kepadamu, agar mendapat fadhilah (keutamaan) dari Allah melalui sabda Rasul-Nya :

“Tidaklah dua orang yang saling mencintai karena Allah, kecuali orang yang lebih besar cintanya adalah yang lebih utama di antara keduanya.” (Bukhari)

Jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan instrospeksi, menilai diri sendiri untuk memperbaiki kadar ukhuwah dan menunaikan hak ukhuwah saudaraku. Jangan jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan untuk menilai sahabat-sahabat Anda, karena jika itu dilakukan, Anda pasti akan lebih memilih untuk ‘uzlah atau menyendiri. Wallahu’alam.

disadur dari buku: Aids Al-Ukhuwah karya Abu ‘Ashim Hisyam bin Abdul Qadir ‘Uqdah

Selasa, 26 Mei 2009

CERMINAN SEMANGAT PEMUDA ZAMAN

Dalam kitab Thariqud-da’wah; bainal ashalah wal inhiraf, Syekh Musthafa Masyhur mengatakan:“Pribadi muslim adalah batu bata asasi dalam al bina’ (pembinaan), baik pembinaan al bait al muslim (keluarga muslim), atau al mujtama’ al muslim (masyarakat muslim), atau al hukumah al muslimah dan ad-daulah. Sesuai dengan kadar yang diterima oleh pribadi dalam hal tarbiyah, sesuai itu pula kekokohan bina’ (bangunan)-nya.
Aqidah dan iman yang kuat adalah asas bina’ syakhshiyyatul fardi al muslim (asas pembentukan pribadi muslim), karenanya, taqshir (keteledoran) di bidang tarbiyah terhitung sebagai kelemahan dalam al asas, dan menghadapkan bangunan kepada keambrukan, cepat atau lambat.
Tidak memberikan ihtimam (perhatian) yang layak kepada tarbiyah juga akan berdampak kepada menurunnya mustawal afrad, sehingga tidak meluluskan afrad ‘alal mustawal mas-uliyah wa tahammuli amanaatil ‘amal (pribadi-pribadi yang tidak selevel dengan tingkat tanggung jawab dan daya tahan dalam memikul berbagai amanah ‘amal), dimana seharusnya mereka meringankan beban-beban dakwah, malahan menimbulkan berbagai musykilah dan khilafat (problematika, masalah dan pertentangan-pertentangan), dan jadilah mereka itu beban dan penyibuk yang merugikan ‘amal, produktifitas dan da’wah.
Tarbiyah mempunyai pengaruh yang sangat panjang sepanjang hari-hari yang ada, dan juga dalam menghadapi berbagai peristiwa serta memenuhi mutathallabil ‘amal (tuntutan-tuntutan amal) di atas jalan da’wah, baik saat terjadi mihnah (cobaan) dan menghadapi tipu daya musuh, atau saat muncul tuntutan jihad, tadh-hiyah (pengorbanan) dan tugas-tugas lainnya.
Sangat penting juga untuk kami jelaskan bahwa tidak shahih tarbiyah hanya terbatas pada mubtadi-in (pemula) yang tidak berlaku lagi bagi al mutaqaddimin (para senior), akan tetapi, tarbiyah harus istimrar terus menerus, dan untuk berbagai level serta berbagai tangga senioritas, sebab, tidak ada seorangpun kecuali membutuhkan zad (bekal) dan tadzkiri (pengingatan)”.
(Masyhur, Musthafa dalam min fiqhid-dawah, Dar at-tauzi’ wa an-nasyr al islamiyah 1415 H – 1995 M, jilid 1 hal 187).
Selanjutnya, beliau menjelaskan tentang asbab ihmal at-tarbiyah (sebab-sebab diabaikannya tarbiyah). Dalam bab ini beliau menjelaskan bahwa asbab ihmal at-tarbiyah adalah:
Dominan-nya aspek siyasah dalam harakah atas aspek tarbiyah. Dampaknya waktu-waktu yang terjebak pada syakliyyat (aspek-aspek formal), munaqasyat (diskusi-diskusi) dan lain-lain.
‘Adam I’dad Murabbiin yastau’ibuunal qadimin (tidak menyiapkan murabbi-murabbi baru yang sanggup meng-isti’ab (membina) pendatang-pendatang baru, dari sinilah mustawa tarbiyah turun. Demikian juga karena adanya ihtimam az-zaidi (perhatian berlebih) terhadap nasyr ad-da’wah (penyebaran da’wah) yang berdampak kepada banyaknya pendatang baru tanpa diimbangi oleh daya dukung untuk meng-isti’ab mereka dengan tarbiyah. Karenanya, menjadi sebuah keharusan untuk ihtimam bi i’dad murabbiin (perhatian dalam menyiapkan para murabbi) dan menselaraskan antara nasy ad-da’wah dan tarbiyah, maksudnya: antara marhalah ta’rif (level pengenalan) dan marhalah takwin (pembentukan).
Berubahnya halaqoh menjadi fashlin tsaqafi thok yang sekedar ma’rifah (tahu) dan tahshil (dapat pelajaran), padahal seharusnya ia menjadi bautaqah lish-shaqli (bingkai tempat dituangkannya bahan baku), takwin (pembentukan), dan taqwimul akhlaq (pelurusan akhlaq). Atau secara umum, inhiraf (pengabaian) dalam hal ini adalah tafrigh wasa-il at-tarbiyah min jauhariha (pengosongan sarana-sarana tarbiyah dari mutiara intinya), sehingga sarana-sarana itu hanya mazh-har (tapilan luar) semata, baik dia itu halaqoh, atau ta’lim.
Tersibukkan oleh bidang-bidang kegiatan tertentu, karena situasi dan kondisi yang muncul sehingga menyebabkan terabaikannya tarbiyah. Tidak shahih (benar) kalau sampai ada sesuatu hal yang menyebabkan ditinggalkannya tarbiyah karena kesibukan mengurusi sesuatu, apapun dia, termasuk jihad dan memerangi musuh, bahkan, tarbiyah dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit dan genting itu justru menjadi urusan yang paling harus, sebab, unsur iman adalah sebab yang paling harus untuk dipenuhi dalam rangka mendapatkan ta’yid (dukungan), ‘aun (pertolongan) dan nashr (kemenangan) dari Allah swt.
Dalam buku tersebut Syekh Musthafa Masyhur juga menyebutkan berbagai bentuk inhiraf (penyimpangan), diantaranya adalah:
Qillatul ‘Ilm (sedikit ilmu).
Al Ihtimam bil Mazh-har dunal jauhar, wa taghlibul jidal wan-niqasy ‘alal ‘amal (perhatian hanya kepada aspek tampilan yang melupakan mutiara isinya dan dominasi debat dan diskusi yang mengalahkan amal).
Al Irtijal wa ‘adamut-takhthith (asal jalan dan tidak ada perencanaan).
Tarbiyah dzatiyah adalah berbagai jenis program, aktifitas, dan kegiatan yang dilakukan oleh peserta tarbiyah secara mandiri dalam rangka meningkatkan kualitas dirinya, baik pada sisi aqidah imaniyah, ibadah sya’airiyah, khuluqiyah adabiyah, nafsiyah, ilmiah tsaqafiyah, jasadiyah, iqtishadiyah, mihariyah maupun ijtima’iyah. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa tarbiyah dzatiyah mencakup berbagai aspek, yaitu:
1. Aqidiyah imaniyah. Maksudnya adalah program-program, dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka menjaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas aqidah imaniyah dirinya.
2. Ibadah sya’airiyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah-ibadah ritualnya.
3. Khuluqiyah adabiyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela serta menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji.
4. Nafsiyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka memperkokoh kejiwaannya agar sesuai dengan kehendak Allah swt.
5. Ilmiah tsaqafiyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka ilmu pengetahuan dan wawasannya.
6. Jasadiyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka menjaga dan memelihara kesehatan jasmani dan tubuhnya serta menyiapkannya untuk menjadi pendukung da’wah.
7. Iqtishadiyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka melatih dirinya agar berpenghasilan dan tidak menjadi beban bagi sesamanya.
8. Mihariyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka menumbuhkan, menjaga, mengarahkan dan meningkatkan bakat, kecenderungan dan modal-modal dasarnya.
9. Ijtima’iyah. Maksudnya adalah program-program dan kegiatan-kegiatan yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh peserta tarbiyah dalam rangka menumbuhkan, menjaga, memelihara, mengarahkan dan meningkatkan syakhshiyyah ijtima’iyah (kemasyarakatan, keorganisasian, kebersamaan) yang ada pada dirinya.

Rabu, 28 Januari 2009

Pemuda Harapan Zaman

Pemuda adalah insan unik dari siklus hidup yaitu manusia, kajian positif tentang usia muda. setiap sepak terjangnya penuh makna, diam, bicara bahkan menghilang sekali pun dari kerumunan manusia menyimpan arti tersendiri untuk pemuda. Sebut saja sosok pemuda bernama Muhammad SAW, di usia muda beliau sempat menghilang dari kerumunan manusia untuk menyendiri (berkhalwat) di gua. Sepulangnya, beliau menyingkap tabir pemaknaan manusia, maka jadilah beliau seorang Nabi dan Rosul yang Al-amin (sangat terpercaya) dan Khatamun nabi (penutup serta penyempurna risalah dan nabi terakhir), serta menjadi Rahmatan lil'alamin (rahmat bagi semesta alam). Subhanallah...! itulah sosok pemuda yang dibuktikan oleh sejarah dan terus berlaku sepanjang zaman !.

Kiranya juga sosok pemuda tidak hanya bernostalgia atau romantisme sejarah, tetapi hari ini para pemuda harus bisa memaknakan kepemudaannya agar torehan tinta sejarah terus bertambah sepanjang umat manusia terus menapaki jalan yang menuju risalah rahmatan lil'alamin. Al-Islam: Kedamaian semesta dan seluruh isinya.

Siapakah kiranya untuk melanjutkan pemaknaan pemuda yang menjadi dambaan sepanjang zaman. semua itu butuh proses panjang dan pilihan hidup, terjal memang untuk mengarunginya tapi nikmat rasanya kalau itu menjadi pilihan pemuda. diantara proses pilihan hidup menjadi pemuda harapan zaman adalah:

  1. Ingin Selalu Baik ( Selalu Niat Baik dan Positif Thinking)
Mudah rasanya kalau berniat baik, karena secara fitroh (naluri manusia) memang manusia diselimuti nilai kebaikan, yangbmempengaruhi hanyalah hawa nafsunya. inilah musuh utama bahkan ada yang mengatakan terbesar sehingga memeranginya berpahala JIHAD! secara mutlak pula dengan niat baik yang selalu bersemayam di jiwa pemuda. inilah yang akan melanjutkan sepak terjang para pemuda kedepan. So, hati- hatilah dengan niat anda, selalu perbaharui niat dan cerahkan pikiran dengan nilai positif.

2. Menjadi Orang Baik ( Pilihan hidup)

ini adalah keniscayaan pilihan hidup. Menjadi dan dipandang baik, bukan hanya oleh personal tapi seluruh mengenal, merasakan walaupun tidak bersentuhan langsung, tetapi mereka menilai kita adalah baik. Maka baiklah pemuda itu! karena keburukan adalah segala macam perbuatan yang meragukan hati, membuat hati kecil kita berpikir ulang dan seluruh insan manusia meragukan perbuatan itu maka itulah keburukan. So, tinggalkanlah keraguan ! pastikan dengan yang terbaik dan istikharah (memilih dengan bantuan media Sang Pencipta).

3. Bertambah Baik (Peningkatan Amal Soleh/ Status)

Mana ada pemuda yang tidak mau mendapatkan 'gelar' soleh atau solehah (orang baik), karena penilaian Snag Pencipta bukan karena kedudukannya, jabatannya, dan lain-lain. Tetapi berapa banyak amal (kerja- kerja positif) yang diperbuat sehingga mereka terus bangkit untuk mencari makna sesungguhnya. Pemuda butuh peningkatan, karena pemuda terus tumbuh baik fisiknya, emosinya dan akalnya. inilah yang menentukan pemuda terus bergerak (beramal).

4. Apakah Kita Baik (Intropeksi Diri/ Muhasabah)

Pemuda harus mengakui, bahwa emosinya sangat rentan 'terpancing', hawa nafsunya sangat sensitif dengan rangsangan dinamika kehidupan. Maka dibutuhkan 'rehat sejenak' untuk melihat diri: hati, akal, serta fisik kita. Karena organ pembentuk pemuda itu bagaikan mesin yang terus terpakai, maka ada masanya untuk diservice dan kontrol. Dengan konsep intropeksi diri inilah para pemuda mampu memperbaharui niat (tajdidunniyah), terus terjaga serta bangkit dan pantang mengeluh. Maka siapkanlah jadwal rutin untuk intropeksi diri karena dengan itu pemuda akan selalu tahu diri. sebagaimana Rosulullah SAW bersabda ; "Brang siapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhan-Nya". (Al-Hadist).

5. Menjadi Sangat Baik (Nilai Taqwa)

Inilah puncak akhir dari penilaian kebaikan: nilai taqwa, sumacumlaude. Dan ini tidak dapat dimiliki dan didapatkan oleh semua orang karena ini adalh bagian dari pilihan hidup yang 'ekstrim' para pemuda. sudah pasti onak dan duri kehidupan membayangi kesuksesan hakiki. Tidak jarang pemuda terseleksi dengan nilai taqwa, killatur rijal (hanya sedikit pemuda). Memang itu karakteristik pemuda dambaan zaman, kita bisa bandingkan para pemuda di zaman sekarang. Bandingkan saja satu per satu, maka kita akan mendapatkan jawabnnya.
PENTING: nilai ketaqwaan tidak dirasakan oleh individu saja, tetapi dirsakan oleh seluruh manusia dan alam ini dalam setiap siklus kehidupan.

6. Terus Menjadi Baik (Konsisten/ Istiqomah)

Dibenak manusia, sulit rasanya untuk konstan dalam kebaikan. tetapi bagi logika para pemuda semuanya bisa terjadi karena sudah terbukti serta teruji. Rosulullah SAW, para sahabatnya, serta seluruh pejuang kebenaran (Mujahid) yang tercatat dalam sejarah kehidupannya sampai detik ini! Prinsipnya terus dicoba dalam prinsip dan gerak hidup, pantang mengeluh karena mengeluh tanpa tak mampu, yakin pasti bisa. Itulah para pemuda yang terus bangkit. Harapan itu masih ada dan tidak akan sirna menjadi mutlak kecuali kiamat. Cobalah berkali- kali karena harapan itu adalah para pemuda semangat zaman.

7. Berakhir Baik (Husnul Khotimah)

Diawali dengan niat baik, berproses dengan baik, terpelihara dengan baik, dan mendapatkan hasil serta evaluasi yang baik (happy endding) inilah semangat pemuda harapan zaman. berakhir dengan predikat atau gelar taqwa, tinta sejarah yang terus tertoreh oleh penerus jejak kepahlwanan kita keseluruh penjuru dunia, meninggalkan nama abadi: Sang Mujahid dan Syuhada!

8. Selamanya Kekal Menjadi Baik ( Syurga/ Jannah)

Syurga dalah cita - cita abadi para pemuda dambaan zaman, karena darah syuhada sangatlah harum. karena kenikmatan berkumpul dengan orang- orang yang bertaqwa serta melihat Sang Pencipta Pemuda tidaklah terbayangkan. Para pemuda yakin kehidupan yang sesunguhnya adalah akhirat, dan sebaik- baik tempat adalah Syurga. walaupun jiwanya bersemayam di syurga tetapi kepahlwanannya tetap terlihat dan dirasakan di dunia.

Itulah beberapa jalan untuk menjadi pemuda harapan zaman. ya, sepanjang zaman karena kita adalah generasi zamannya. Ingat ini:" Hari ini harus lebih baik darai hari kemaren,. Jika hari ini sama saja maka kita merugi, dan apabila hari ini lebih buruk maka para pemuda itu akan celaka ". (Al- Hadist). Seomga kita terpilih dalam jalan pemuda harapan zaman, karena pemuda harapan zaman tidak akan pernah musnah dan usang dimakan zaman sampai akhir zaman ini. Wallahu a'lam....

Memoar: Buletin Visioner Leader, Edisi 04; November 2008 M/ 1429 H
Sang Pemuda dari Mujahid Benteng

Ahmad Syahril Baidilah El-Mauqy

Jumat, 23 Januari 2009

Shidqul Intima (Menjadi Anggota Jama'ah Yang Sebenarnya)

Shidqul intima sama dengan menolong dakwah dan menjaga fikrah sama dengan menjadi anggota jamaah yang sebenarnya

Perkumpulan ataukah Jamaah?

“Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan”. Sebuah hakikat abadi yang dikumandangkan dan digemakan oleh Umar Al-Faruq RA semenjak 1400 tahun yang lalu. Melalui hakikat ini beliau menetapkan bahwa Islam tidak dapat tegak kecuali melalui sebuah jamaah yang memikulnya, menyeru kepadanya, membelanya dan berjihad di jalannya.

Dengan pernyataan ini al-Faruq mengukuhkan –tanpa ada ruang keraguan sedikit pun- bahwa terdapat perbedaan besar antara tajammu’ (perkumpulan) dan jama’ah. Perbedaan di antara keduanya sangatlah jauh. Tajammu’ :

1. Berdiri dan bubar berdasarkan pendapat, kesenangan dan keinginan personal,
2. Tidak ada nizham yang mengikatnya,
3. Tidak ada pula kaidah-kaidah yang mengatur pergerakannya.
4. Setiap orang memiliki pendapat dan kepribadiannya secara mandiri.

Sedangkan jama’ah memiliki:

1. Nizham dan manhaj hayah,
2. Rencana strategis, sasaran taktis,
3. Nizham idari, jenjang organisasi, dan jalur komando,
4. Laihah, dan qanun,
5. Program dan instrumen kerja

Sangat teringat kalimat-kalimat ini dengan seluruh makna dan konotasi tarbawinya saat saya mengikuti berbagai hal yang diucapkan dan ditulis di sana sini, ini dan itu tentang program Partai Ikhwanul Muslimin, serta buntut dari semua ini yang berupa berbagai pernyataan. Sikap-sikap dan peristiwa-peristiwa ini serta hal-hal lainnya termasuk sarana tarbiyah bagi Ikhwan yang sangat kuat, sebab tarbiyah mempergunakan mawaqif (sikap) merupakan pelindung dari berbagai kehancuran. Tarbiyah seperti ini dapat memberikan tsabat terhadap hati yang faham (sadar), meluruskan jalan bagi yang guncang, dan menegakkan hujjah bagi yang meragukan.

Syahwat ataukah Syubhat?

Tahapan dakwah pada marhalah manapun tidak pernah kosong dari dualisme permusuhan abadi terhadap berbagai rencana musuh-musuh Islam. Catatan sejarah penuh dengan berbagai konspirasi mereka, adakalanya dalam bentuk upaya melakukan pengrusakan dengan menebar berbagai syahwat di satu sisi, atau terkadang pula dengan cara menebar berbagai syubhat di saat yang lain. Akibat dari hal ini, tahapan dakwah yang manapun tidak pernah sepi dari musyakkikin (para penebar keraguan), mutsabbithin (para penggembos semangat dan pembongkar ketegaran), dan mudzabdzibin (penebar sikap bermuka dua) terhadap barisan muslim dari dalamnya.

Hakikat Al-Qur’an pun menegaskan hal ini, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan di antara kamu terdapat ‘telinga-telinga’ bagi mereka” (At-Taubah: 41).

Hakikat Al-Qur’an ini memberi peringatan kepada barisan muslin agar tidak merespon rencana-rencana para musuh. Bahkan Al-Qur’an mengingatkan bahwa urusan ini bisa sampai ke tingkat terjerumus kepada hal yang dilarang, sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong adalab kelompok dari kamu sendiri” (An-Nur: 11).

Dan sangat mungkin masalahnya bisa berkembang sampai ke tingkat melupakan al-ghayah (tujuan). Allah SWT berfirman: “Di antara kamu ada orang-orang yang menginginkan dunia dan di antara kamu ada yang menginginkan akhirat” (Ali Imran: 152)

Imam Al-Banna sangat memahami hakikat ini, karenanya beliau berkata: “Betapa banyak orang-orang yang ada di dalam (organisasi) kita, padahal mereka bukan bagian dari kita, dan betapa banyak orang-orang kita yang tidak ada bersama kita”!! Beliau pun meminta Ikhwan untuk memperhatikan bahaya urusan ini dan akibatnya yang sangat fatal. Beliau juga menekankan pentingnya melakukan pengawasan terhadap barisan serta membersihkannya dari orang-orang lemah. Beliau berkata: “Jika ada di tengah-tengah kamu orang yang sakit hatinya, cacat tujuannya, tersembunyi keinginannya, dan cacat masa lalunya, maka keluarkanlah mereka dari dalam barisan kalian, sebab orang seperti ini menjadi penghalang rahmat dan penutup taufiq Allah SWT”.

Emosi ataukah Akal

“Kekanglah lompatan-lompatan emosi dengan nalar akal, dan terangi cahaya akal dengan bara emosi, kekang khayalan yang ada dengan kebenaran hakikat dan realita, ungkap berbagai hakikat dalam sorotan khayalan yang memukau dan berkilau, dan janganlah seluruh kecenderungan diikuti, sebab ia akan menjadikannya seperti tergantung (tidak membumi dan tidak pula melangit”.

Ini adalah kata-kata abadi yang ditaujihkan oleh Imam Al-Banna rahimahullah kepada para ikhwan. Taujih ini dimaksudkan untuk:

1. Mendisiplinkan barisan muslim agar tidak terjadi inhiraf dalam pemahaman, pemikiran ataupun perilaku.
2. Merealisasikan fokus tawazun dan i’tidal (moderasi) dalam manhajiyyatut-tafkir al-ikhwani (metodologi berfikir Ikhwan).
3. Menjaga barisan agar tidak dipermainkan oleh berbagai emosi yang meluap nan membara atau akal pikiran yang bernalar dengan gaya para filosof.
Jadi, jangan ada dominasi akal atas emosi dan jangan ada permainan perasaan yang mendominasi pemikiran. Jadi, taujih ini adalah pandangan yang obyektif, berimbang, moderat, dan bimbingan dari seorang panglima yang menjadi muassis, semoga Allah SWT merahmatinya.

Hawa Nafsu ataukah Prinsip?

“Hati-hati terhadap segala bentuk hawa yang diberi nama dengan selain Islam”. Sebuah isyarat peringatan yang ditaujihkan oleh Maemun bin Muhran rahimahullah kepada semua orang yang tertarik oleh manisnya hawa dan enaknya pendapat, dan kita dapati pemandu perjalanan mengingatkan kita dengan kekhasan ini, kenapa Imam Al-Banna menulis Ushul ‘Isyrin?! Dan untuk siapa beliau menulisnya? Dan begitu pentingkah sehingga beliau menempatkannya sebagai rukun pertama dari rukun-rukun bai’at?!

Dan datangnya jawaban dari seorang pemberi nasihat yang terpercaya: Sungguh, Ushul ‘Isyrin telah menjadi –dan akan terus menjadi:

- Benang tenun yang menjaga jamaah dan para anggotanya dari inhiraf,
- Bendungan yang kokoh dalam menghadapi berbagai pen-takwil-an yang salah dalam memahami Islam,
- Penjaga barisan supaya tidak mengikuti zhan (persangkaan, dugaan) dan segala yang disenangi oleh jiwa,
- Patokan bagi setiap pergerakan, perbuatan dan pernyataan Ikhwan di sana sini.

Imam Al-Banna menulis Ushul ‘Isyrin ini:

a. Dalam rangka kesatuan pemikiran, gerakan dan manhaj tarbawi bagi Jama’ah di tengan berbagai badai,

b. Agar tidak muncul berbagai madrasah pemikiran atau “jama’ah-jama’ah” yang menyusup ke tengah-tengah Jamaah,

c. Untuk tidak memberi toleransi terhadap adanya pemikiran yang menyusup atau gagasan yang kontradiksi –dikarenakan adanya emosi yang meluap atau penggampangan yang tendensius- yang bermaksud meng-infiltrasi barisan,

d. Untuk menjaga jama’ah agar tetap berada di atas garis tarbawi dan da’awi yang orisinil, menepis berbagai kotoran dan upaya-upaya penumpangan terhadapnya,

e. Dan pada akhirnya agar menjadi rujukan saat terjadi ikhtilaf (perbedaan) atau saat munculnya satu bentuk inhiraf, sebab Ushul ‘Isyrin dapat membantu penyelamatan amal,

f. dan implementasi yang baik yang akan menjaga Jama’ah dan anggotanya dari berbagai keterplesetan.

Orang-Orang yang Muncul di Permukaan ataukah Tersembunyi

Sepanjang sejarah Jama’ah seluruhnya, belum pernah terjadi perpecahan barisan atau inhiraf dari tujuan dan orientasi dikarenakan adanya suara yang tinggi, dan belum pernah pula terjadi berbagai macam move dan ketokohan di dalam Jama’ah kecuali bagi mereka yang terdepan dan bersifat shidq, serta terealisir untuk mereka, dengan mereka dan pada mereka shidqul wala’ wal intima’ (loyalitas dan merasa menjadi bagian yang benar) dari Dakwah yang diberkahi ini, semua tokoh Dakwah ini, marhalah ini dan seluruh marhalah yang ada adalah Ikhwan yang shadiqun dari Ikhwan al-Muslimin, yang:

- Mengimani ketinggian Dakwah mereka, kesucian fikrahi mereka,
- Bertekad dengan sebenarnya untuk hidup dengan Dakwah ini atau mati di jalannya.

Kepada Ikhwan yang seperti itulah yang mulia Mursyid ‘Am Syeikh Mahdi ‘Akif mengarahkan taujih-nya dalam risalahnya yang terakhir “Dan bagi mereka yang melihat bahwa dalam menjalani jalan dakwah ini terdapat peluang popularitas publik dan gemerlapnya para bintang, sungguh ia telah benar-benar merugi, sebab, para pelaku dakwah tidak melihat adanya balasan selain pahala Allah SWT jika mereka ikhlas, dan surga jika Allah SWT mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat kebaikan, dan mereka itu beginilah adanya, orang-orang yang tersembunyi dari sisi tampilan publik, dan miskin dari sisi materi, kondisi mereka adalah men-tadh-hiyah-kan apa yang mereka miliki, dan memberikan apa yang ada di tangan mereka, harapan mereka adalah ridha Allah, dan Dia-lah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”.

Untuk lebih memperjelas urusan ini, beliau berkata: “dan supaya Ikhwan mengetahui bahwa tantangan terbesar yang menghadang mereka adalah:
- Adanya upaya-upaya untuk memperlemah tekad kalian,
- Adanya tasykik (pemunculan keraguan) terhadap manhaj dan keagungan risalah kalian.
- Supaya para musuh kalian mendorong kalian pada posisi:
- Putus asa yang menyebabkan duduk tidak mau bekerja, atau
- Keraguan yang mencerai beraikan, atau
- Dorongan emosi yang tanpa kendali”.

Tsawabit ataukah Mutaghayyirat?

Allah SWT telah menjadikan dakwah Ikhwan berbeda dengan yang lainnya dalam hal adanya: Ru’yah wadhihah (visi yang jelas), yang memungkinkannya untuk menyatukan Jamaah, baik sebagai qiyadah maupun individu dalam hal persepsi dan mafahim. Ketegasan dalam berbagai posisi sulit dan pemilihan manhaj taghyir yang paling benar yang tegak di atas minhaj nubuwwah, serta Pemahaman terhadap perbedaan antara tsawabit dan mutaghayyirat dalam perjalanan amal Islami.

Jadi, ada perbedaan jelas:
- Antara yang dini (agama) yang tsabit dan tsaqafi (wawasan, budaya) yang mutaghayyir
- Antara tsawabit al-harakah dan mutaghayyirat al-siyasah

Ia merupakan tsawabit al-’amal dalam dakwah kita. Darinya menjadi jelas sebagian dari kaidah-kaidah tanzhimi kita:

Siapa menyalahkan siapa?
Siapa meng-audit siapa?
Adakah anggota (person) hak menyalahkan Jamaah? Ataukah sebaliknya?!

Perbedaan antara nasihat, tidak mendiamkan kesalahan dan kritik membangun yang diletakkan pada tempatnya yang benar di satu sisi dan antara memaksakan pendapat. Di manakah nasihat? Kapan diberikan? Dan apakah ia bersifat mulzimah (mengikat)?

Instrumen pengambilan kebijakan; antara lingkaran syura dan lingkaran pengambilan keputusan, perbedaan antara syura dan istisyarah, perbedaan antara syura terorganisir yang mulzimah dan istisyarah yang afawiyyah (tidak terorganisir), antara marhalah syura dan marhalah tanfidz, keseimbangan antara syura mulzimah dan qarar yang mulzim, dan perilaku minoritas terhadap qarar yang mulzim.

Membela ataukah Menjaga

Shidqul intima’ wal wala’ (keanggotaan dan loyalitas yang benar) terhadap dakwah yang diberkahi ini, yang ada di dalam jiwa seorang akh yang shadiq, dikukur berdasarkan tingkat pelaksanaannya terhadap tugas yang diminta darinya untuk dakwahnya, dalam berbagai kondisi, dalam zhuruf apapun, dan sejauh mana ketetapan dia dalam hal ini dengan penuh tsabat yang mengharap pahala dari Allah SWT, di mana hal ini tercermin pada:
1. Membela dakwah. Dengan cara menyebarluaskannya, membelanya dan ber-tadh-hiyah di jalannya. Sebab, sebuah fikrah menjadi sukses “jika - Menguat keimanan kepadanya
- Terpenuhi ikhlas di jalannya
- Bertambah semangat untuknya
- Ditemukan adanya persiapan yang mendorongnya untuk tadh-hiyah dan kerja untuk merealisasikannya”.

2. Menjaga fikrah. Terhadap pemikiran-pemikiran dan klausul-klausulnya, pokok-pokok dan tsawabit-nya, rukun-rukun dan tiang-tiangnya, karakteristik dan kekhasannya. Serta menjaganya agar tidak ada infiltrasi pemikiran yang menimpanya. Penjagaan seperti ini menuntut adanya empat pilar:
- Kehendak kuat yang tidak terdampak oleh kelemahan.
- Kesetiaan kokoh yang tidak terkontaminasi bunglonisme dan pengkhianatan
- Tadh-hiyah langka yang tidak terhambat ketamakan dan kepelitan
- Pengenalan terhadap prinsip, keyakinan kepadanya dan penghargaan terhadapnya, yang akan melindunginya dari kesalahan, inhiraf, tawar menawar dan tergoda oleh yang lainnya.

Di atas rukun-rukun dasar yang merupakan kekhasan jiwa satu-satunya ini, dan di atas kekuatan ruhani yang besar seperti inilah berbagai prinsip dibangun, berbagai bangsa yang bangkit di-tarbiyah, dan berbagai masyarakat baru dibentuk serta kehidupan diperbaharui dari mereka-mereka yang sudah lama tidak dapat menikmati kehidupan dalam tempo yang lama”.

Detik Kejujuran

Ini merupakan detik-detik kebeningan jiwa. Di dalamnya kita saling mengingat hal-hal yang mengikatkan kita dengan dakwah mubarakah dan Jama’ah yang kekal ini. Ini merupakan waqfah shadiqah (perenungan yang jujur) bersama jiwa. Di dalam detik-detik ini kita perbaharui janji kita dengan Allah SWT, dengan dakwah kita dan dengan Jama’ah kita:

Hendaklah kita tetap tsiqah terhadap Jama’ah, sebab, ia adalah benteng yang aman bagi kita semua. Ia adalah rahasia keberlangsungan dakwah, betatapun ia diterpa berbagai syubhat, ittihamat (tuduhan) serta pendapat yang ini itu sepanjang sejarahnya.

Hendaklah kita menjaga faktor-faktor kekuatan di dalam Jama’ah, yang terwujud dalam:

- Kesatuan pemikiran, keanggotaan dan tanzhimi,
- Keterikatan barisan yang tegak di atas ukhuwwah,

Pelaksanaan hak-hak ukhuwwah secara sempurna yang berupa: cinta, penghargaan, bantuan dan itsar
- Menghadiri berbagai pertemuan jama’ah dan jangan menyelisihinya kecuali karena adanya alasan yang “memaksa”.
- Selalu mendahulukan ber-mu’amalah dengan ikhwah
- Menerima pendapat internal yang berbeda
- Saling memberi nasihat, tidak mendiamkan kesalahan dan berterus terang dalam memberikan mauizhah, akan tetapi pada tempatnya yang wajar.
- Bekerja untuk menyebarluaskan dakwah kita di semua tempat.
- Memberitahukan kepada qiyadah tentang berbagai situasi dan kondisi kita secara utuh.
- Tidak melakukan suatu pekerjaan yang memiliki pengaruh secara mendasar kecuali dengan ijin.
- Selalu connect secara ruhi dan amali dengan dakwah
- Selalu memandang diri sendiri sebagai prajurit di barak yang menunggu segala perintah
- Melepaskan diri dengan berbagai hubungan dengan lembaga atau jama’ah apapun yang tidak membawa maslahat bagi fikrah kita, khususnya jika hal ini diperintahkan

Penutup

Kalimat berikut diucapkan oleh Imam Asy-Syahid: “Wahai al-akh ash-shadiq! Ini adalah global dakwah kamu, penjelasan singkat terhadap fikrahmu, kamu dapat menghimpunnya dalam lima kosa kata: Allah ghoyatuna, Ar-Rasul Qudwatuna, Al-Qur’an syir’atuna (Al-Qur’an undang-undang kami), al-Jihad sabiluna, asy-syahadah umniyyatuna (syahid cita-cita kami), tampilan dakwah kamu dapat dihimpun dalam lima kosa kata yang lain: al-basathah (simpel), tilawah (baca Al-Qur’an), shalat, jundiyah (keprajuritan), khuluq (akhlaq), maka, berpeganglah kepada ajaran ini dengan kuat, jika tidak, pada barisan para pengangguran masih ada tempat bagi mereka yang malas dan suka main-main.

Saya yakin bahwa jika kamu mengamalkannya, dan menjadikannya sebagai cita-cita dan akhir dari segala tujuanmu, maka balasannya adalah kemuliaan di dunia, kebaikan dan ridha Allah di akhirat, sementara kamu adalah bagian dari kami dan kami bagian dari kamu, dan jika kamu berpaling darinya, dan duduk tidak mau bekerja untuknya, maka tidak ada hubungan antara kami dan kamu, walaupun kamu berada pada posisi terdepan dalam majelis kami, dan kamu pun membawa gelar paling agung yang ada serta tampil di antara kami dengan tampilan terbesar, dan Allah SWT akan meng-hisab kamu atas duduk-duduk kamu dengan hisab terberat, maka, pilihlah untuk dirimu pilihan yang tepat, dan kami memohon taufiq dan hidayah kepada Allah SWT untuk kebaikan kami dan kamu”.

Sumber: http://www.ikhwanonline.com/Article.asp?ArtID=31856&SecID=323

Risalah Nukhbawiyah: Intima Lil Islam Untuk menyelamatkan Jama'ah

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Mutiara Ayat:
Ibnu Abbas RA saat menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allah Taala memerintahkan melalui ayat ini kepada orang-orang mukmin untuk bersabar saat ia marah, bersikap santun saat bertemu orang jahil, dan memaafkan saat diperlakukan dengan buruk, dan jika mereka melakukan yang demikian ini maka Allah Taala akan menjaga mereka dari tipu daya Setan, serta lawan-lawan mereka akan tunduk kepada mereka seakan-akan sahabat yang amat akrab.” (Tafsir Ibnu Katsir, VII/181)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkomentar tentang ayat ini, “Inilah para kekasih Allah, inilah para wali Allah, inilah orang-orang yang disucikan di sisi Allah, inilah orang-orang terbaik di sisi Allah, inilah makhluk yang paling dicintai Allah, karena mereka menyambut seruan Allah dengan dakwahnya, lalu mereka mengajak orang-orang lain untuk bersama-sama menyambut seruan-NYA dan beramal shalih dalam rangka taat kepada-NYA, lalu setelah itu mereka berkata: Sungguh kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri. Maka inilah para Khalifah Allah!” (Tafsir At-Thabari, XXI/469)

Sifat-Sifat Dai:

1. Tarbiyah Yang Matang

Hal yang pertama dilakukan oleh harakah ini adalah membangun al-mihwar at-tanzhimi, yang dicirikan dengan memperkuat hubungan para kader dengan Allah Taala, sehingga kader memiliki aqidah yang mendalam (al-iman al-amiq), pemahaman yang utuh (al fahmu ad-daqiq) dan amal yang berkelanjutan (al-amal al-mutawashil), sehingga mereka mampu memikul bagaimanapun beratnya beban dakwah ini karena:

1. Mengukur berat dan ringannya beban dakwah ini dengan timbangan Iman, bukan dengan perasaan dan logika manusia semata, sehingga sesuatu yang dianggap berat di sisi manusia menjadi ringan saja jika menggunakan aqidah dan iman, dan sebaliknya sesuatu yang dianggap remeh di sisi manusia bisa jadi amat besar di sisi Allah Taala:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“Kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja padahal ia di sisi Allah dosanya adalah amat besar.”(An-Nur:15)

2. Tiada tugas dakwah yang berat bersama keimanan seorang kader, dan tiada tugas dakwah yang ringan jika bersama kemunafikan:

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنْفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Seandainya yang kamu serukan itu keuntungan yang cepat dan perjalanan yang dekat saja pastilah mereka semua mengikutimu, tetapi tempat yang kamu tuju itu terasa amat jauhnya oleh mereka.” (At-Taubah:42)

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Dan di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati janjinya kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka adapula yang menunggu-nunggu tetapi mereka tidak sedikit pun mengubah janjinya.”(Al-Ahzab:23)

3. Tujuan seorang kader yang benar dalam dakwahnya adalah mardhatillah dalam melaksanakan kewajiban dakwahnya, tidak peduli apapun yang diminta oleh Sang Pemilik kita:

وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى

“Padahal tiada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya sehingga harus dibalasnya, tetapi ia memberikan itu semata-mata karena mencari keridhaan RABB-nya Yang Maha Tinggi.” (Al-Lail:19-20)

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu ini hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih.”(Al-Insan:9)

4. Sebaliknya tujuan seorang munafik adalah agar amalnya terlihat oleh manusia, sementara ia selalu berusaha menghindari tugas-tugas yang tidak kelihatan orang lain, memberatkan dan tidak disukainya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (bermaksud) menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas dan riya’ di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka berdzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali.”(An-Nisa:142)

يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ قُلْ لَا تَعْتَذِرُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكُمْ قَدْ نَبَّأَنَا اللَّهُ مِنْ أَخْبَارِكُمْ وَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Mereka mengemukakan uzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka dari berperang. Katakanlah: Janganlah kalian mengatakan uzur , kami tidak percaya lagi kepadamu, karena Allah telah memberitahukan pada kami beritamu yang sebenarnya.”

Demikianlah wahai ikhwah ash shadiq wa akhawat ash shadiqah, kematangan tarbiyah ini tersirat dalam ayat yang kita bahas yaitu dalam ayat ke-30 dari surah Fush-shilat (2 ayat sebelum ayat di atas) yang ditunjukkan dengan terbentuknya aqidah yang shahih yaitu menyatakan bahwa :رَبُّنَا اللَّهُ [[1, lalu istiqamah[2] dalam hal tersebut sampai wafat[3] dan jaminan akan dimasukkan ke dalam Jannah Allah Taala[4]. Berkata Sayyid Quthb rahimahullah, “Istiqamah dalam ayat ini bermakna dalam perasaannya ke dalam dan dalam perilakunya ke luar, istiqamah dan bersabar dalam istiqamah tersebut, adalah sebuah hal yang berat dan sulit, sehingga barangsiapa yang mampu melakukannya akan mendapatkan pahala yang besar, yakni turunnya malaikat menghiburnya saat menjelang kematian, pernyataan kasih-sayang mereka, persahabatan mereka dan kabar gembira dari mereka dengan Jannah, dan diakhiri dengan bahwa semua kabar gembira itu disampaikan dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadamu. Maka nikmat mana lagi yang lebih besar dari nikmat ini?”[5]

2. Memiliki Basis Sosial Yang Kuat

Hal kedua yang dilakukan oleh harakah Islam adalah membangun al-mihwar asy-sya’biy, yaitu membentuk basis sosial yang kuat di masyarakat melalui dakwahnya, baik di tempat tinggalnya maupun dimana pun dia berada. ini dicirikan oleh ayat ke-33 di atas melalui makna مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ [6], yaitu dengan segala kegiatan dakwah yang dilakukannya. Maka bagaimana bisa disebut seorang kader, jika masyarakat di daerah tersebut tidak berubah dengan dakwahnya.? Bahkan –naudzubillah- ia bahkan tidak dikenal sama sekali di tempatnya.? Lalu bagaimana kelak ia jika di Yaumil Qiyamah kelak dihadapkan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh الْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ (An-Nisa:36)

Selain di daerah sekitarnya, iapun hendaknya pandai bergaul dan merangkul orang ke pangkuan dakwahnya, karena Nabi SAW bersabda:

“Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaqnya” (H.R. Bukhari Muslim)

Artinya kebaikan budi pekerti seseorang merupakan ciri orang terbaik dalam syariah, baik budi pekertinya kepada manusia maupun tentunya budi pekertinya kepada Allah Taala. Dalam hadits lainnya disebutkan:

“Orang mukmin itu mudah akrab dan mudah diakrabi, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa akrab dan tidak bisa diakrabi.”[7] Jadi pandai bergaul, mudah akrab, cepat menarik simpati dalam berinteraksi, sepanjang dilakukan dengan menetapi adab-adab syar’iyah dan tidak melanggar larangan berinteraksi dengan orang lain, maka semua itu adalah tanda kebaikan seorang muslim di sisi Allah Taala.

Dalam hadits lainnya disebutkan:

“Manusia yang paling dicintai Allah Taala adalah yang paling bermanfaat di antara mereka, dan amal yang paling dicintai Allah Taala adalah membuat muslim lainnya bergembira, atau menghilangkan kesulitannya, atau melunasi utangnya, atau mengenyangkan laparnya, dan sungguh seorang muslim itu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya muslim itu lebih dicintai Allah Taala daripada i’tikaf sebulan di masjidku ini, barangsiapa yang menahan marahnya maka Allah Taala akan menutupi aibnya, dan barangsiapa yang menahan amarahnya padahal ia mampu melampiaskan amarahnya maka Allah Taala akan memenuhi hatinya di Hari Kiamat kelak dengan harapan, dan barangsiapa yang berjalan memenuhi kebutuhan saudaranya sampai sempurna terpenuhi kebutuhannya maka Allah Taala akan meneguhkan berdirinya pada Hari dimana tersungkur kaki-kaki manusia di akhirat, dan ketahuilah bahwa keburukan akhlaq itu menghancurkan amal kalian sebagaimana cuka menghancurkan madu.” (H.R. At-Thabari dalam Al-Kabir, III/209; Ibnu Asakir dalam At-Tarikh, XVIII/1; di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, II/608)

Demikianlah seorang kader tidak pernah bersikap sombong dan senantiasa penuh pengertian dan kelembutan kepada semua orang, karena mereka ingat ketika Nabi mereka telah menjadi penguasa Arab, dan seorang Arab Badui dibawa ke hadapannya dengan tubuh gemetar ketakutan maka beliau SAW bersabda, “Tenangkan dirimu, aku ini bukanlah Raja, aku ini hanya anak seorang wanita Quraisy, yang biasa makan daging kering.” (H.R. Ibnu Majah, Ibnu Sa’ad, Al-Hakim dan Al-Haitsami)

3. Melakukan Ekspansi ke Semua Lini

Berikutnya adalah membentuk al-mihwar al-mu’assasi, yang dalam ayat ke-34 di atas disebutkan secara tersirat sebagai sikap: Membalas kejahatan dengan kebaikan, berdiplomasi dengan cara yang terbaik, sehingga bahkan bisa membuat musuh kita menjadi teman setia. Perlu ditegaskan di sini bahwa politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan, bahkan turunnya syariat tertinggi dalam Islam yaitu shalat, salah satu bentuknya –yaitu shalat Khauf- adalah karena sebab urusan politik (peperangan). Nabi SAW menunaikan shalat di tengah-tengah pertempuran bersama para sahabatnya di daerah Asfan[8], yaitu ketika beliau SAW mengetahui posisi kaum musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid sudah amat dekat dengan mereka[9]. Dalam kitab Al-Imta’ ada tambahan sebagai berikut[10]:

Saat pasukan Khalid sampai ke dekat posisi kaum muslimin, maka ia menempati posisi antara kaum muslimin & arah Kiblat, saat datang waktu shalat Zhuhur maka seluruh kaum muslimin melakukan shalat berjamaah di belakang Nabi SAW, setelah selesai mereka kembali menempati posisinya, maka berkatalah Khalid dalam hatinya, “Sungguh mereka tadi lalai, jika kita serang tadi, niscaya mereka akan dapat dikalahkan.” Saat tiba waktu shalat Ashar -karena bagi kaum muslimin shalat lebih mereka cintai dari nyawa mereka dan anak-anak mereka- maka mereka semua bersiap akan shalat, lalu datanglah Jibril membawa ayat 102 surat An-Nisa sehingga mereka melakukan shalat dengan aturan shalat Khauf, melihat perubahan cara tersebut berkatalah Khalid dalam hatinya, “Tahulah aku bahwa orang-rang ini ada pembelanya, karena siapakah yang memberi tahu orang-orang ini tentang taktik yang aku baru rencanakan dalam hatiku untuk menyergap mereka saat mereka lalai?”

4. Memimpin Negara dan Dunia

Terakhir adalah membangun al-mihwar ad-daulah, dimana para kader dakwah dipersiapkan untuk memimpin di semua bidang kehidupan, menjadi khalifah Allah di muka bumi, memimpin dunia dengan keadilan dan membawa manusia menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam ayat ke-35 di atas dicirikan dengan ciri bahwa tsabat dan istimrar dalam berdakwah yang hanya dimiliki orang-orang yang sabar, dan dalam ayat ini disebutkan sebagai akan mendapatkan kemuliaan yang amat besar, baik di dunia maupun di akhirat.

1. Menjaga orisinalitas ajaran Islam:

وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آَيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِين

“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari menyampaikan ayat-ayat Allah setelah ayat-ayat itu diturunkan padamu, dan serulah mereka ke jalan RABB-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang musyrik.”(Al-Qashas:87)

2. Mengembalikan ibadah para hamba Allah kepada Allah, yang seharusnya diibadahi dalam setiap aspek kehidupan mereka, setelah sekian lama mereka disibukkan kepada selain-NYA.

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: Wahai para ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kami dan kalian, yaitu agar kita tidak beribadah selain kepada Allah saja dan agar kita tidak menyekutukan-NYA sedikitpun, dan agar tidak pula kita menjadikan sebagian yang lain sebagai ILAH selain Allah. Dan jika mereka tetap berpaling, katakanlah: Saksikan bahwa kami adalah orang yang berserah diri kepada Allah.”(Ali Imran:64)

3. Mengembalikan apa-apa yang hilang dari kaum muslimin, baik berupa ‘harga-diri’ serta ‘kehormatan’ akibat mereka (kaum muslimin) meninggalkan amanah Allah dan tongkat kekhalifahan-nya atas umat manusia.

إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Jika kalian tidak berangkat untuk berjihad, maka nanti Allah akan menyiksa kalian dengan adzab yang pedih, dan digantinya kalian dengan kaum yang lain, dan kalian tidak memudaratkan Allah sedikit pun. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(At-Taubah:39)

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israel melalui lisan Daud dan Isa bin Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka lakukan. Sungguh amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan itu.”(Al-Maidah:78-79)

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andaikan kebenaran itu adalah menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah seluruh langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya.”(Al-Mu’minun:71)

4. Mengembalikan kejayaan kaum muslimin, melalui ketinggian iman, sehingga melampaui dan mengungguli kerendahan moral umat lainnya.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu merasa lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman.”(Ali Imran:139)

وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka. Jika menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan pula sebagaimana kemu menderitanya, sedang kamu mengharap (pahala) dari Allah yang mereka tidak mengharapkannya. Dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(An-Nisa:104)

5. Berdakwah tersebut merupakan pemenuhan kewajiban syar’i.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan hendaklah ada di antaramu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran:105)

مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

“Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang Nabi-pun yang diutus oleh Allah Taala sebelumku, melainkan ada di antara umatnya para penolong dan sahabat yang mengambil sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, lalu umat tersebut digantikan setelahnya oleh orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan, maka barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya maka dia mukmin, dan barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan hatinya maka iapun mukmin dan barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan lisannya maka mereka pun mukmin dan tiada lagi keimanan tanpa salah satu dari ketiga perbuatan itu walaupun sebesar biji Sawi.” (H.R. Muslim)

Wallahu a’lam bis shawab

——————————–

[1] Yaitu menyatakan tauhid dan tidak syirik kepada Allah sedikitpun, ini adalah pendapat Abu Bakar RA dan Mujahid RA, lih. At-Thabari, XXI/464; juga pendapat Utsman RA (lih. Bahrul Muhith, VII/496),br \>
[2] Umar RA berpendapat bahwa makna istiqamah di sini dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan (HR At-Thabrani, XXIV/115; diperkuat oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur, VII/322); Sementara Ali RA dan Ibnu Abbas RA berpendapat bahwa maknanya istiqamah dalam menjalankan yang difardhukan Allah Taala (HR At-Thabrani, XXIV/115; lih juga At-Thabari, XXIV/115 yang diperkuat oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur, VII/322)

[3] Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi SAW dari Anas RA (HR Abu Ya’la, VI/213 dan An Nasa’i dalam Al-Kubra, no. 11470), lih. Juga Ibnu Katsir, VII/175

[4] Makna “turunnya malaikat” dalam ayat ini yakni: Di saat wafat, ini adalah pendapat Ibnu Abbas RA, sementara Al-Waki’ RA berpendapat: Saat wafat, saat di dalam kuburnya, dan saat ia dibangkitkan kembali (lih. Bahrul Muhith, VII/496 dan Zadul Masir, VII/257); sementara makna, “jangan takut”, yaitu terhadap urusan akhirat yang menunggumu, dan makna “jangan sedih” yaitu terhadap keluarga yang kamu tinggalkan, demikian menurut Mujahid RA (lih. At-Thabari, XXIV/116; juga Ibnu Katsir, IV/100)

[5] Lih. Azh-Zhilal, VI/295

[6] Maknanya menurut para mufassir ialah: Rasulullah SAW, lalu para muadzin yang menyeru orang untuk mengerjakan shalat, lalu orang-orang yang menyeru orang lain namun ia juga memulainya dari diri mereka sendiri (lih. At-Thabari, XXI/469; Ibnu Katsir, VII/179)

[7] HR Al-Haitsami dalam Al-Majma’, X/273-274; di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, I/425 no. 426

[8] HR Abu Daud, Kitabu Shalah, hal. 215, haditsnya shahih (lih. Al-Mustadrak, III/338; Sunan Al-Kubra, III/257; Tafsir Ibnu Katsir, I/548; Al-Ishabah, VII/294). Ibnu Hajar menyebut secara pasti bahwa hal ini terjadi di Hudhaibiyah (Al-Fath, VII/423)

[9] Ini berdasarkan pendapat yang menyatakan perang Dzatu Riqa’ setelah perang Khaibar & inilah yang lebih shahih, wallahu a’lam

[10] Imta’ul-Asma’, Al-Muqrizi, I/380

Sumber: al-ikhwan.net

Selasa, 20 Januari 2009

Dialog Cinta Sang Generasi....

Dialog Selepas Malam

“ Akhi\Ukhti, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam
da’wah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar.
Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata
ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.“ Begitu keluh kesah
seorang mad’u kepada murobbi\yahnya di suatu malam.
Sang murobbi\yah hanya terdiam, mencoba terus menggali
semua kecamuk dalam diri mad’unya. “ Lalu, apa yang
ingin antm\i lakukan setelah merasakan semua itu ? “
sahut sang murobbi\yah setelah sesaat termenung.“Ana
ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana
kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tak
Islami. Juga dengan organisasi da’wah yang ana geluti
; kaku dan sering mematikan potensi
anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana lebih baik
sendiri saja.“ jawab ikhwah itu.

Sang murobbi\yah termenung kembali. Tak tampak raut
terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap
terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah
diketahuinya sejak awal. “akhi\ukhti, bila suatu kali antm\i
naik sebuah kapal mengarungi lautan luas, Kapal itu
ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang,
kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau
kotoran manusia. Lalu, apa yang antm\i lakukan untuk
tetap sampai pada tujuan ?“ Tanya sang murobbiyah
dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya
mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan
yang amat tepat.

“ Apakah antm\i memilih untuk terjun ke laut dan
berenang sampai tujuan ?“ sang murobbi\yah memcoba memberi
opsi. “ Bila antm\i terjun ke laut, sesaat antm\i akan
merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia,
merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain
dengan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa
kekuatan antm\i untuk berenang sampai tujuan ?
Bagaimana bila ikan hiu datang ? Darimana antm\i
mendapat makan dan minum ? Bila malam datang,
bagaimana antum mengatasi hawa dingin ?“ serentetan
pertanyaan dihamparkan dihadapan sang ikhwah tersebut.

Tak ayal, sang ikhwah menangis tersedu. Tak kuasa rasa
hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya
kadang memuncak, namun sang murobbi\yah yang
dihormatinya justru tak memberi jalan keluar yang
sesuai dengan keinginannya.
“akhi\ukhti, apakah antm\i masih merasa bahwa jalan da’wah
adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah SWT
?“ ( Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang
akhwat. Ia hanya mengangguk. )“ Bagaimana bila
ternyata mobil yang anti kendarai dalam menempuh jalan
itu ternyata mogok ? anti akan berjalan kaki
meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau
mencoba memperbaikinya ?“ Tanya sang murobbi\yah lagi.

Sang akhi\ukhti tetap terdiam dalam sesenggukkan tangis
perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya ;“
Cukup ukhti, cukup. Ana sadar. Maafkan ana, Insya
Allah SWT ana akan tetap istiqomah. Ana berda’wah
bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar
setiap kata-kata ana diperhatikan.”
“ Biarlah yang lain dengan urusan pribadi
masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam
da’wah. Dan hanya saja yang akan membahagiakan ana
kelak dengan janji-janji- Nya. Biarlah segala
kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana
.“
sang mad’u berazzam di hadapan sang murobbi\yah yang
semakin dihormatinya. Sang murobbi\yah tersenyum.
“akhi\ukhti, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka
adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan.
Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan
yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang
menyambut seruan untuk berda’wah. Dengan begitu,
mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik
pilihan .“

“ Bila ada satu-dua kelemahan dan kesalahan mereka,
janganlah hal itu mendominasi perasaan antm\i.
Sebagaimana ALLAH ta’ala menghapus dosa manusia dengan
amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata
anti dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap da’wah
selama ini. Karena di mata, belum tentu antm\i lebih
baik dari mereka.“
“ Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi
lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap
ketidaksepakatan selalu disikapi dengan jalan itu;
maka kapankah da’wah ini dapat berjalan baik ?“
sambungnya panjang lebar.

Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat
murobbiyahnya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun
ada satu hal tetap bergelayut di hatinya. “ Tapi
bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi da’wah
dengan kapasitas ana yang lemah ini ?“ sebuah
pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

“ Siapa bilang kapasitas anti lemah ? Apakah ALLAH
mewahyukan kepada antm\i ? Semua manusia punya kapasitas
yang berbeda. Namun tak ada yang bisa menilai bahwa
yang satu lebih baik dari yang lain !“ sahut sang
murobbi\yah.

“ Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiyah dalam
kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang pada semua
ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena
peringatan selalu berguna bagi orang yang beriman.
Bila ada sebuah isu atau gossip, tutuplah telinga anti
dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghibah anti
terhadap saudara antm\i sendiri. Dengan itulah, Bilal
yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.“

Malam itu sang mad’u menyadari kesalahannya. Ia
bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam
mengarungi jalan da’wah…


Taken from : Al-Izzah dengan beberapa perubahan.
Kembalikan semangat itu saudara\i ku, jangan biakan asa
itu hilang, ditelan gersangnya debu yang menerpa.
Biarlah itu semua menjadi saksi, sampai kita diberi 2
kebaikan oleh ALLAH SWT: kemenangan atau mati syahid