Jumat, 23 Januari 2009

Shidqul Intima (Menjadi Anggota Jama'ah Yang Sebenarnya)

Shidqul intima sama dengan menolong dakwah dan menjaga fikrah sama dengan menjadi anggota jamaah yang sebenarnya

Perkumpulan ataukah Jamaah?

“Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan”. Sebuah hakikat abadi yang dikumandangkan dan digemakan oleh Umar Al-Faruq RA semenjak 1400 tahun yang lalu. Melalui hakikat ini beliau menetapkan bahwa Islam tidak dapat tegak kecuali melalui sebuah jamaah yang memikulnya, menyeru kepadanya, membelanya dan berjihad di jalannya.

Dengan pernyataan ini al-Faruq mengukuhkan –tanpa ada ruang keraguan sedikit pun- bahwa terdapat perbedaan besar antara tajammu’ (perkumpulan) dan jama’ah. Perbedaan di antara keduanya sangatlah jauh. Tajammu’ :

1. Berdiri dan bubar berdasarkan pendapat, kesenangan dan keinginan personal,
2. Tidak ada nizham yang mengikatnya,
3. Tidak ada pula kaidah-kaidah yang mengatur pergerakannya.
4. Setiap orang memiliki pendapat dan kepribadiannya secara mandiri.

Sedangkan jama’ah memiliki:

1. Nizham dan manhaj hayah,
2. Rencana strategis, sasaran taktis,
3. Nizham idari, jenjang organisasi, dan jalur komando,
4. Laihah, dan qanun,
5. Program dan instrumen kerja

Sangat teringat kalimat-kalimat ini dengan seluruh makna dan konotasi tarbawinya saat saya mengikuti berbagai hal yang diucapkan dan ditulis di sana sini, ini dan itu tentang program Partai Ikhwanul Muslimin, serta buntut dari semua ini yang berupa berbagai pernyataan. Sikap-sikap dan peristiwa-peristiwa ini serta hal-hal lainnya termasuk sarana tarbiyah bagi Ikhwan yang sangat kuat, sebab tarbiyah mempergunakan mawaqif (sikap) merupakan pelindung dari berbagai kehancuran. Tarbiyah seperti ini dapat memberikan tsabat terhadap hati yang faham (sadar), meluruskan jalan bagi yang guncang, dan menegakkan hujjah bagi yang meragukan.

Syahwat ataukah Syubhat?

Tahapan dakwah pada marhalah manapun tidak pernah kosong dari dualisme permusuhan abadi terhadap berbagai rencana musuh-musuh Islam. Catatan sejarah penuh dengan berbagai konspirasi mereka, adakalanya dalam bentuk upaya melakukan pengrusakan dengan menebar berbagai syahwat di satu sisi, atau terkadang pula dengan cara menebar berbagai syubhat di saat yang lain. Akibat dari hal ini, tahapan dakwah yang manapun tidak pernah sepi dari musyakkikin (para penebar keraguan), mutsabbithin (para penggembos semangat dan pembongkar ketegaran), dan mudzabdzibin (penebar sikap bermuka dua) terhadap barisan muslim dari dalamnya.

Hakikat Al-Qur’an pun menegaskan hal ini, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan di antara kamu terdapat ‘telinga-telinga’ bagi mereka” (At-Taubah: 41).

Hakikat Al-Qur’an ini memberi peringatan kepada barisan muslin agar tidak merespon rencana-rencana para musuh. Bahkan Al-Qur’an mengingatkan bahwa urusan ini bisa sampai ke tingkat terjerumus kepada hal yang dilarang, sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong adalab kelompok dari kamu sendiri” (An-Nur: 11).

Dan sangat mungkin masalahnya bisa berkembang sampai ke tingkat melupakan al-ghayah (tujuan). Allah SWT berfirman: “Di antara kamu ada orang-orang yang menginginkan dunia dan di antara kamu ada yang menginginkan akhirat” (Ali Imran: 152)

Imam Al-Banna sangat memahami hakikat ini, karenanya beliau berkata: “Betapa banyak orang-orang yang ada di dalam (organisasi) kita, padahal mereka bukan bagian dari kita, dan betapa banyak orang-orang kita yang tidak ada bersama kita”!! Beliau pun meminta Ikhwan untuk memperhatikan bahaya urusan ini dan akibatnya yang sangat fatal. Beliau juga menekankan pentingnya melakukan pengawasan terhadap barisan serta membersihkannya dari orang-orang lemah. Beliau berkata: “Jika ada di tengah-tengah kamu orang yang sakit hatinya, cacat tujuannya, tersembunyi keinginannya, dan cacat masa lalunya, maka keluarkanlah mereka dari dalam barisan kalian, sebab orang seperti ini menjadi penghalang rahmat dan penutup taufiq Allah SWT”.

Emosi ataukah Akal

“Kekanglah lompatan-lompatan emosi dengan nalar akal, dan terangi cahaya akal dengan bara emosi, kekang khayalan yang ada dengan kebenaran hakikat dan realita, ungkap berbagai hakikat dalam sorotan khayalan yang memukau dan berkilau, dan janganlah seluruh kecenderungan diikuti, sebab ia akan menjadikannya seperti tergantung (tidak membumi dan tidak pula melangit”.

Ini adalah kata-kata abadi yang ditaujihkan oleh Imam Al-Banna rahimahullah kepada para ikhwan. Taujih ini dimaksudkan untuk:

1. Mendisiplinkan barisan muslim agar tidak terjadi inhiraf dalam pemahaman, pemikiran ataupun perilaku.
2. Merealisasikan fokus tawazun dan i’tidal (moderasi) dalam manhajiyyatut-tafkir al-ikhwani (metodologi berfikir Ikhwan).
3. Menjaga barisan agar tidak dipermainkan oleh berbagai emosi yang meluap nan membara atau akal pikiran yang bernalar dengan gaya para filosof.
Jadi, jangan ada dominasi akal atas emosi dan jangan ada permainan perasaan yang mendominasi pemikiran. Jadi, taujih ini adalah pandangan yang obyektif, berimbang, moderat, dan bimbingan dari seorang panglima yang menjadi muassis, semoga Allah SWT merahmatinya.

Hawa Nafsu ataukah Prinsip?

“Hati-hati terhadap segala bentuk hawa yang diberi nama dengan selain Islam”. Sebuah isyarat peringatan yang ditaujihkan oleh Maemun bin Muhran rahimahullah kepada semua orang yang tertarik oleh manisnya hawa dan enaknya pendapat, dan kita dapati pemandu perjalanan mengingatkan kita dengan kekhasan ini, kenapa Imam Al-Banna menulis Ushul ‘Isyrin?! Dan untuk siapa beliau menulisnya? Dan begitu pentingkah sehingga beliau menempatkannya sebagai rukun pertama dari rukun-rukun bai’at?!

Dan datangnya jawaban dari seorang pemberi nasihat yang terpercaya: Sungguh, Ushul ‘Isyrin telah menjadi –dan akan terus menjadi:

- Benang tenun yang menjaga jamaah dan para anggotanya dari inhiraf,
- Bendungan yang kokoh dalam menghadapi berbagai pen-takwil-an yang salah dalam memahami Islam,
- Penjaga barisan supaya tidak mengikuti zhan (persangkaan, dugaan) dan segala yang disenangi oleh jiwa,
- Patokan bagi setiap pergerakan, perbuatan dan pernyataan Ikhwan di sana sini.

Imam Al-Banna menulis Ushul ‘Isyrin ini:

a. Dalam rangka kesatuan pemikiran, gerakan dan manhaj tarbawi bagi Jama’ah di tengan berbagai badai,

b. Agar tidak muncul berbagai madrasah pemikiran atau “jama’ah-jama’ah” yang menyusup ke tengah-tengah Jamaah,

c. Untuk tidak memberi toleransi terhadap adanya pemikiran yang menyusup atau gagasan yang kontradiksi –dikarenakan adanya emosi yang meluap atau penggampangan yang tendensius- yang bermaksud meng-infiltrasi barisan,

d. Untuk menjaga jama’ah agar tetap berada di atas garis tarbawi dan da’awi yang orisinil, menepis berbagai kotoran dan upaya-upaya penumpangan terhadapnya,

e. Dan pada akhirnya agar menjadi rujukan saat terjadi ikhtilaf (perbedaan) atau saat munculnya satu bentuk inhiraf, sebab Ushul ‘Isyrin dapat membantu penyelamatan amal,

f. dan implementasi yang baik yang akan menjaga Jama’ah dan anggotanya dari berbagai keterplesetan.

Orang-Orang yang Muncul di Permukaan ataukah Tersembunyi

Sepanjang sejarah Jama’ah seluruhnya, belum pernah terjadi perpecahan barisan atau inhiraf dari tujuan dan orientasi dikarenakan adanya suara yang tinggi, dan belum pernah pula terjadi berbagai macam move dan ketokohan di dalam Jama’ah kecuali bagi mereka yang terdepan dan bersifat shidq, serta terealisir untuk mereka, dengan mereka dan pada mereka shidqul wala’ wal intima’ (loyalitas dan merasa menjadi bagian yang benar) dari Dakwah yang diberkahi ini, semua tokoh Dakwah ini, marhalah ini dan seluruh marhalah yang ada adalah Ikhwan yang shadiqun dari Ikhwan al-Muslimin, yang:

- Mengimani ketinggian Dakwah mereka, kesucian fikrahi mereka,
- Bertekad dengan sebenarnya untuk hidup dengan Dakwah ini atau mati di jalannya.

Kepada Ikhwan yang seperti itulah yang mulia Mursyid ‘Am Syeikh Mahdi ‘Akif mengarahkan taujih-nya dalam risalahnya yang terakhir “Dan bagi mereka yang melihat bahwa dalam menjalani jalan dakwah ini terdapat peluang popularitas publik dan gemerlapnya para bintang, sungguh ia telah benar-benar merugi, sebab, para pelaku dakwah tidak melihat adanya balasan selain pahala Allah SWT jika mereka ikhlas, dan surga jika Allah SWT mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat kebaikan, dan mereka itu beginilah adanya, orang-orang yang tersembunyi dari sisi tampilan publik, dan miskin dari sisi materi, kondisi mereka adalah men-tadh-hiyah-kan apa yang mereka miliki, dan memberikan apa yang ada di tangan mereka, harapan mereka adalah ridha Allah, dan Dia-lah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”.

Untuk lebih memperjelas urusan ini, beliau berkata: “dan supaya Ikhwan mengetahui bahwa tantangan terbesar yang menghadang mereka adalah:
- Adanya upaya-upaya untuk memperlemah tekad kalian,
- Adanya tasykik (pemunculan keraguan) terhadap manhaj dan keagungan risalah kalian.
- Supaya para musuh kalian mendorong kalian pada posisi:
- Putus asa yang menyebabkan duduk tidak mau bekerja, atau
- Keraguan yang mencerai beraikan, atau
- Dorongan emosi yang tanpa kendali”.

Tsawabit ataukah Mutaghayyirat?

Allah SWT telah menjadikan dakwah Ikhwan berbeda dengan yang lainnya dalam hal adanya: Ru’yah wadhihah (visi yang jelas), yang memungkinkannya untuk menyatukan Jamaah, baik sebagai qiyadah maupun individu dalam hal persepsi dan mafahim. Ketegasan dalam berbagai posisi sulit dan pemilihan manhaj taghyir yang paling benar yang tegak di atas minhaj nubuwwah, serta Pemahaman terhadap perbedaan antara tsawabit dan mutaghayyirat dalam perjalanan amal Islami.

Jadi, ada perbedaan jelas:
- Antara yang dini (agama) yang tsabit dan tsaqafi (wawasan, budaya) yang mutaghayyir
- Antara tsawabit al-harakah dan mutaghayyirat al-siyasah

Ia merupakan tsawabit al-’amal dalam dakwah kita. Darinya menjadi jelas sebagian dari kaidah-kaidah tanzhimi kita:

Siapa menyalahkan siapa?
Siapa meng-audit siapa?
Adakah anggota (person) hak menyalahkan Jamaah? Ataukah sebaliknya?!

Perbedaan antara nasihat, tidak mendiamkan kesalahan dan kritik membangun yang diletakkan pada tempatnya yang benar di satu sisi dan antara memaksakan pendapat. Di manakah nasihat? Kapan diberikan? Dan apakah ia bersifat mulzimah (mengikat)?

Instrumen pengambilan kebijakan; antara lingkaran syura dan lingkaran pengambilan keputusan, perbedaan antara syura dan istisyarah, perbedaan antara syura terorganisir yang mulzimah dan istisyarah yang afawiyyah (tidak terorganisir), antara marhalah syura dan marhalah tanfidz, keseimbangan antara syura mulzimah dan qarar yang mulzim, dan perilaku minoritas terhadap qarar yang mulzim.

Membela ataukah Menjaga

Shidqul intima’ wal wala’ (keanggotaan dan loyalitas yang benar) terhadap dakwah yang diberkahi ini, yang ada di dalam jiwa seorang akh yang shadiq, dikukur berdasarkan tingkat pelaksanaannya terhadap tugas yang diminta darinya untuk dakwahnya, dalam berbagai kondisi, dalam zhuruf apapun, dan sejauh mana ketetapan dia dalam hal ini dengan penuh tsabat yang mengharap pahala dari Allah SWT, di mana hal ini tercermin pada:
1. Membela dakwah. Dengan cara menyebarluaskannya, membelanya dan ber-tadh-hiyah di jalannya. Sebab, sebuah fikrah menjadi sukses “jika - Menguat keimanan kepadanya
- Terpenuhi ikhlas di jalannya
- Bertambah semangat untuknya
- Ditemukan adanya persiapan yang mendorongnya untuk tadh-hiyah dan kerja untuk merealisasikannya”.

2. Menjaga fikrah. Terhadap pemikiran-pemikiran dan klausul-klausulnya, pokok-pokok dan tsawabit-nya, rukun-rukun dan tiang-tiangnya, karakteristik dan kekhasannya. Serta menjaganya agar tidak ada infiltrasi pemikiran yang menimpanya. Penjagaan seperti ini menuntut adanya empat pilar:
- Kehendak kuat yang tidak terdampak oleh kelemahan.
- Kesetiaan kokoh yang tidak terkontaminasi bunglonisme dan pengkhianatan
- Tadh-hiyah langka yang tidak terhambat ketamakan dan kepelitan
- Pengenalan terhadap prinsip, keyakinan kepadanya dan penghargaan terhadapnya, yang akan melindunginya dari kesalahan, inhiraf, tawar menawar dan tergoda oleh yang lainnya.

Di atas rukun-rukun dasar yang merupakan kekhasan jiwa satu-satunya ini, dan di atas kekuatan ruhani yang besar seperti inilah berbagai prinsip dibangun, berbagai bangsa yang bangkit di-tarbiyah, dan berbagai masyarakat baru dibentuk serta kehidupan diperbaharui dari mereka-mereka yang sudah lama tidak dapat menikmati kehidupan dalam tempo yang lama”.

Detik Kejujuran

Ini merupakan detik-detik kebeningan jiwa. Di dalamnya kita saling mengingat hal-hal yang mengikatkan kita dengan dakwah mubarakah dan Jama’ah yang kekal ini. Ini merupakan waqfah shadiqah (perenungan yang jujur) bersama jiwa. Di dalam detik-detik ini kita perbaharui janji kita dengan Allah SWT, dengan dakwah kita dan dengan Jama’ah kita:

Hendaklah kita tetap tsiqah terhadap Jama’ah, sebab, ia adalah benteng yang aman bagi kita semua. Ia adalah rahasia keberlangsungan dakwah, betatapun ia diterpa berbagai syubhat, ittihamat (tuduhan) serta pendapat yang ini itu sepanjang sejarahnya.

Hendaklah kita menjaga faktor-faktor kekuatan di dalam Jama’ah, yang terwujud dalam:

- Kesatuan pemikiran, keanggotaan dan tanzhimi,
- Keterikatan barisan yang tegak di atas ukhuwwah,

Pelaksanaan hak-hak ukhuwwah secara sempurna yang berupa: cinta, penghargaan, bantuan dan itsar
- Menghadiri berbagai pertemuan jama’ah dan jangan menyelisihinya kecuali karena adanya alasan yang “memaksa”.
- Selalu mendahulukan ber-mu’amalah dengan ikhwah
- Menerima pendapat internal yang berbeda
- Saling memberi nasihat, tidak mendiamkan kesalahan dan berterus terang dalam memberikan mauizhah, akan tetapi pada tempatnya yang wajar.
- Bekerja untuk menyebarluaskan dakwah kita di semua tempat.
- Memberitahukan kepada qiyadah tentang berbagai situasi dan kondisi kita secara utuh.
- Tidak melakukan suatu pekerjaan yang memiliki pengaruh secara mendasar kecuali dengan ijin.
- Selalu connect secara ruhi dan amali dengan dakwah
- Selalu memandang diri sendiri sebagai prajurit di barak yang menunggu segala perintah
- Melepaskan diri dengan berbagai hubungan dengan lembaga atau jama’ah apapun yang tidak membawa maslahat bagi fikrah kita, khususnya jika hal ini diperintahkan

Penutup

Kalimat berikut diucapkan oleh Imam Asy-Syahid: “Wahai al-akh ash-shadiq! Ini adalah global dakwah kamu, penjelasan singkat terhadap fikrahmu, kamu dapat menghimpunnya dalam lima kosa kata: Allah ghoyatuna, Ar-Rasul Qudwatuna, Al-Qur’an syir’atuna (Al-Qur’an undang-undang kami), al-Jihad sabiluna, asy-syahadah umniyyatuna (syahid cita-cita kami), tampilan dakwah kamu dapat dihimpun dalam lima kosa kata yang lain: al-basathah (simpel), tilawah (baca Al-Qur’an), shalat, jundiyah (keprajuritan), khuluq (akhlaq), maka, berpeganglah kepada ajaran ini dengan kuat, jika tidak, pada barisan para pengangguran masih ada tempat bagi mereka yang malas dan suka main-main.

Saya yakin bahwa jika kamu mengamalkannya, dan menjadikannya sebagai cita-cita dan akhir dari segala tujuanmu, maka balasannya adalah kemuliaan di dunia, kebaikan dan ridha Allah di akhirat, sementara kamu adalah bagian dari kami dan kami bagian dari kamu, dan jika kamu berpaling darinya, dan duduk tidak mau bekerja untuknya, maka tidak ada hubungan antara kami dan kamu, walaupun kamu berada pada posisi terdepan dalam majelis kami, dan kamu pun membawa gelar paling agung yang ada serta tampil di antara kami dengan tampilan terbesar, dan Allah SWT akan meng-hisab kamu atas duduk-duduk kamu dengan hisab terberat, maka, pilihlah untuk dirimu pilihan yang tepat, dan kami memohon taufiq dan hidayah kepada Allah SWT untuk kebaikan kami dan kamu”.

Sumber: http://www.ikhwanonline.com/Article.asp?ArtID=31856&SecID=323

Tidak ada komentar:

Posting Komentar